Sabtu, 05 Mei 2012


MU’JIZAT KARAMAT DAN MA’UNAT
( Persepsi Supranatural Dan Evolusi Spiritual manusia )





Pendahuluan
            Menurut para filosof muslim, tidak saja penalaran rasional dan pengalaman mistik sebagai sumber ilmu, tetapi juga kenabian atau wahyu.1 Dalam kaitan ini Mulla Shadra di dalam kitabnya al-Asfar al-arba’ah menyebut ketiga sumber tersebut sebagai burhan (demonstrative proof), Irfan (gnosis, atau ma’rifah), dan Qur’an (wahyu/kenabian).2 Tentu saja kenabian ini terkait erat dengan pengalaman mistik, tetapi dalam bentuknya yang paling sempurna. Perbandingan antara pengalaman mistik (walayah) dan kenabian (nubuwah) barangkali dapat disimpulkan dari ungkapan Farid al-Din Aththar dalam kitabnya Tadkirat al-Auliya, yang mengatakan bahwa setinggi-tingginya pengalaman mistik atau kewalian (wilayah) itu baru awal dari kenabian (nubuwah).3 Ini menunjukan adanya keterkaitan dan kesinambungan antara pengalaman mistik dan kenabian, dengan catatan bahwa kenabian merupakan bentuk yang paling sempurna dari pengalaman mistik, atau bahkan jenis lain darinya. Itulah sebabnya, sementara Nabi sangat mungkin mengalami pengalaman mistik, seorang mistikus tidak akan pernah atau mungkin mengalami kenabian sebab kalau itu terjadi, ia sudah bukan mistikus lagi, melainkan nabi.
            Pengalaman mistik (wilayah) dan kenabian (nubuwah) adalah merupakan pengetahuan yang tidak rasional; dalam pengertian umum. Sedangkan mistik apabila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan ( ajaran atau keyakinan ) tentang tuhan yang diperoleh melalui meditasi dan latihan spiritual, bebas dari ketergantungan kepada indera dan rasio.4 Pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat difahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat difahami rasio. Pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti empiris tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.5
            Dalam Islam, yang temasuk pengetahuan mistik ialah pengetahuan yang diperoleh melalui jalan tasawuf. Pengetahuan yang diperoleh misalnya tercakup dalam istilah ma’rifah, al-Ittihad, atau Hulul. Pengetahuan mukasyafah juga adalah pengetahuan mistik dalam tasawuf yang diperoleh memang bukan melalui jalan indera dan rasio. Pengetahuan ini diperoleh melalui olah rasa, melalui hati sebagai alat merasa. Apabila indera dan rasio adalah alat mengetahui yang dimiliki manusia, maka rasa atau hati juga merupakan alat untuk mengetahui. Manusia laksana radio penerima siaran empiris ia terima dan pahami dengan menggunakan alat indera; siaran yang tidak empiris tetapi raional, ia terima dan pahami dengan menggunakan akal rasional yang bekerja sesuai dengan hukum-hukum dan aturan logis. Adapun siaran-siaran yang memiliki sinyal yang rendah frekwensinya, sehingga bukan indera saja yang tidak mampu menangkapnya, akal raionalpun tidak mampu menangkapnya. Untuk menangkap pancaran gelombang hidayah yang frekwensinya tersebut, maka diperlukan radar yang lebih peka terhadap gelombang tersebut, adapun radar ini dinamakan dengan hati (kalbu).6  
            Selanjutya dalam tradisi ilmu Islam, secara garis besar dikenal dua macam ilmu yaitu : ilmu muktasab dan ilmu laduni. Yang pertama diperoleh lewat proses pembelajaran (membaca atau berguru) sedang yang kedua tidak melalui proses tersebut. Ilmu jenis yang kedua ini adalah anugerah atau pemberian dari Allah yang masuk ke dalam (diperoleh) hati karena telah terbukannya pintu ma’rifah sebagai buah dari kebersihan hati dan kedekatan dengan-Nya. Eksistensi ilmu jenis kedua ini memang diakui keberadaannya. Quraish Shihab dalam menafsirkan firman Allah surat al-‘Alaq ayat keempat dan kelima dengan jelas mengatakan :
“ Dari uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa ayat keempat dan kelima surat al-Alaq menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah SWT dalam mengajar manusia. Pertama melalui “pena” (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung, tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah Ilmu laduny7
Dari uraian di atas jelas bahwa indera dan akal memang merupakan sumber dan alat yang kompeten untuk memahami apa yang disebut sebagai pengalaman fenomenal, namun indera dan akal tersebut tidak dapat menjangkau dan menguraikan apa yang disebut dengan pengalaman eksistensial. Artinya ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos kealam ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa religius), sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non inderawi  atau apa yang sering disebut dengan (extra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius. Ia bahkan bisa berkomunikasi melalui “bahasa hati” dengan makhluk-makhluk gaib, seperti, malaikat, jin, atau bahkan Tuhan sendiri seperti yang dialami oleh para nabi. Ibarat radar, hati manusia terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan begitu terang, betapapun redupnya sinyal itu dari sudut pandang akal.
Namun dalam pemikiran modern, peran hati sebagai saluran pengetahuan kurang mendapatkan penghargaan yang semestinya. Masyarakat modern membatasi objek pengetahuan hanya pada objek-objek inderawi yang bersifat empiris, kemudian dengan cara berpikir positivis manusia modern hanya mengakui keabsahan pengetahuan inderawi tersebut yang dimanifestasikan dalam wujud sains dan teknologi yang berkembang dengan sangat luar biasa dan spektakuler.8 Dengan perkembangan sains dan teknologi, memang manusia modern dapat mengirimkan pesawatnya untuk menjelajah angkasa. Manusia  sudah dapat mendarat di bulan dengan tubuhnya yang berasal dari bumi, dan bukan hanya dengan rohnya saja. Dengan sains dan teknologi manusia dapat mengintai alam semesta dengan strukturnya, yang jauhnya berjuta-juta tahun cahaya dari bumi kita. Dengan sains dan teknologi pula  manusia mampu menyelami dasar lautan dan mempelajari apa yang terdapat di dalamnya, juga manusiapun telah mampu mempelajari dirinya sendiri dan bahkan mengubah DNA sehingga dikhayalkan akan menciptakan jenis manusia baru di masa yang akan datang. Sains yang berpangkal kepada ilmu-ilmu pokok  Fisika, kimia, biologi, matematika, astronomi (yang dapat kita sebut dengan ilmu alam benda), ekonomi, sosiologi, antropologi (yang dapat kita sebut sebagai ilmu tingkah laku atau behavioral sciences) dan sebagainya telah berkembang dengan cepat dan bercabang-cabang sehingga merupakan ilmu yang sangat spseialis. Demikian dengan majunya ilmu hingga manusia seolah-olah memujanya, dan menganggapnya sebagai Tuhan, dan menggunakannya untuk menilai salah dan benar, menjadikan pedoman kalau ada sesuatu yang tidak dapat diterangkan oleh ilmu itu.     
Akan tetapi walaupun demikian, tidak mudah kiranya untuk menyangkal bahwa semenjak dahulu hingga sekarang, terjadi berbagai peristiwa yang tidak dapat diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada. Dalam menyikapi kenyataan ini di kalangan Ilmuwan terbagi menjadi dua kubu yaitu ; pertama, kelompok ilmuwan yang menolak peristiwa ini dan mengatakan sebagai non-sense. Mereka menutup diri sendiri  karena peristiwa tersebut tak dapat diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada. Sedangkan kelompok yag kedua adalah mereka yang terbuka dan menerima peristiwa itu, meskipun tidak dapat diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada. Mereka beranggapan mungkin ada sesuatu yang salah dengan cara berpikir kita. Kelompok yang ketiga adalah mereka yang menunggau saja bagaimana nanti dan bahkan berspekulasi dengan berbagai cara, termasuk cara klenik, spiritualist, yang dalam istilah di Indonsesia dikenal dengan istilah aliran kepercayaan.
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang mencoba membongkar apa sebenarnya yang ada di belakang peristiwa yang tidak dapat diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada itu. Salah seorang sarjana diantaranya adalah Louis E Rhine istri salah seorang ahli biologi yang kemudian menjadi ahli parapsikologi Dr. JB Rhine almarhum. Dalam bukunya yang berjudul Hidden Chanels of Mind, dia mengumpulkan berbagai kasus peristiwa yang tidak dapat diterangkan dengan ilmu-ilmu yang ada pada waktu itu.9 Begitupun dengan William James juga meyinggung berbagai peristiwa dan dibukukan dan dibukukan dalam buku yang berjudul “Varieties of Religious Experience”.
Di kalangan para penulis parapsychology peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada itu disebut peristiwa paranormal. Para yang dalam bahasa Yunani berarti di seberang atau beyond, jadi paranormal berarti di seberang hal-hal yang normal. Istilah ini mulai dipakai di Ingris pada tahun 1830.10 Kemudian tersebar luas dan dipakai dalam berbagai bidang ilmu dan kegiatan. Jadi tidak benar kalau ada anggapan bahwa istilah tersebut diciptaka oleh sekelompokj orang Indonesia. Dalam bahasa Arab ada istilah yang hamper sama, yaitu hawariq al-adat (di luar adapt kebiasaan).
Dalam lingkup tawawuf peristiwa paranormal (hawariq al-adat) ini di bagi ke dalam beberapa tingkatan yaitu;11
1.      Mu’jizat, peristiwa atau kemampuan luar biasa yang dialami oleh para nabi dan rasul.
2.      Irhash, peristiwa luar biasa (paranormal) yang dialami calon nabi
3.      Karamat, peristiwa luar biasa (paranormal) yang dialami para wali
4.      Ma’unat, luar biasa (paranormal) yang dialami orang biasa, buka nabi bukan pula wali
5.      Istidraj, peristiwa luar biasa (paranormal) bagi orang munafik, sekurang-kurangnya orangyang dianggap demikian
Demikianlah sedikit ulasan mengenai pengalaman luar biasa yang banyak terjadi pada orang-orang tertentu yang telah berhasil mengolah indera bati mereka sehingga mampu sampai pada tahap ma’rifat dan bersatu dengan dzat yang maha mutlak. Sehingga dengan kedekatan tersebut, seolah-oleh tidak ada lagi pembatas antara aku dengan engkau. Tidak ada lagi jurang yang memisahkan  seseorang dari objek yang ditelitinya karena ia telah bersatu- telah hadir pada dirinya. Bahkan kalau perasaan cinta telah begitu besar, seorang pecinta tidak lagi bisa dipisahkan dari kekasihnya, dan dua jiwapun kini tidak dapat dipisahkan lagi karena mereka telah bersatu. Lalu, terkenallah uangkapan “dua jantung satu debaran”. Dari sinilah kita dapat mengerti mengapa banyak para sufi yang telah merasa bersatu dengan kekasihnya, yaitu Tuhan, sehingga nama al-Hallaj­-pun hilang, dan yang tersisa hanyalah Tuhan, Sang Kebenaran (al-Haqq).12

Fenomena Mukjizat Dalam Pandangan Islam
            Kata mukjizat dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “kejadian ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.” Pengertian ini berbeda dengan pengertian kata tersebut dalam istilah agama Islam.
            Kata mukjizat terambil dari kata bahasa Arab  أَعجز  (a,jaza) yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”. Pelakunya yang melemahkan dinamai mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka ia dinamai  مـعجـزة  (mu’jizat).13 Dalam pandangan pakar agama Islam, mukjizat disefinisikan antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang menaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada orang-orang yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu.14 Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan juga sebagai sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.15 Sedangkan Manna al-Qhatan mendefinisikan sebagai berikut : 
            أَمْـرٌ خـَارِقٌ لِلْعـَادَةِ مَقْـرُوْنٌ بِاِلتَّحَدِّي سَالِمٌ عَنِ اْلمُـعَارَضَةِ 
Artinya : “Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsure tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.16
Apabila kita perhatikan definisi-definisidi atas, maka akan terlihat adanya beberapa unsur yang berkaitan dengan mukjizat. Unsur-unsur tersebut adalah :
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seorang nabi
3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Untuk membuktikan kegagalan mereka yang ditantangnya, biasanya aspek kemukjizatan masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan dengan bidang keahlian umatnya. Perhatikan misalnya mukjizat nabi Musa a.s yakni beralihnya tongkat menjadi ular yang dihadapkan kepada masyarakat yang amat mengandalkan sihir. Mukjizar yangbegitu jelas ini telah benar-benar membungkam para ahli sihir yang ditantang oleh nabi Musa a.s, sehingga mereka tak kuasa kecuali mengakui kekalahan mereka, ealaupun Fir’aun megancam dengan aneka macam ancaman.17
Perhatikan juga nabi Shaleh a.s yang menghadapi kaum Tsamud yang amat gandrung melukis dan memahat, sampai relief-relief indah “bagaikan sesuatu yang hidup” menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka.18 Kepada mereka disodorkan mukjijat yang sesuai dengan kehalian itu, yakni keluar seekor unta yang benar-benar hidup dari batu karang yang kemudian mereka lihat makan dan minum.19 Dan bahkan merekapun meminum susu unta tersebut. Ketika itu relief-relief yang telah mereka lukis tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan unta yang menajdi mukjizat itu. Sayang karena pembangkangan dan keras kepala dan kesal samapai mereka tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhanpun menjatuhkan siksa kepada mereka.
Demikian juga halnya dengan nabi Isa a.s yang umatnya merasa mahir dalam bidang pengobata, tetapi kemahiran itu tidak ada artinya sama sekali dibandingkan dengan mukjizat nabi Isa a.s. Mukjizat tersebut adalah mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir, meyembuhkan peyakit sopak, dan bahkan menghidupkan orang mati. Kesemua mukjizat tersebut terjadi atas izin Allah SWT.20
Sunnatullah  atau kebiasaan Allah yang diberlakukan oleh-Nya kepada para nabi terdahulu, juga diberlakukan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam hal mukjizat misalnya, Nabi Muhammad saw pun dianugerahi mukjizat sebagai upaya membuktikan kebenaran kenabiannya. Namun mukjizat Nabi Muhammad saw berbeda dengan mukjizat yang telah diturunkan kepada Nabi-Nabi terdahulu. Mukjizat Nab-Nabi terdahulu kesemuanya merupakan mukjizat yang bersifat material, inderawi lagi tidak kekal, dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indera oleh masyarakat tempat Nabi tersebut menyampaikan risalahnya.
Perahu Nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dasyat; tidak terbakarnya Nabi Ibrahim dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa a.s yang beralih wujud menjadi ular; peyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s atas izin Allah da lain-lain. Kesemuanya bersifat material inderawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masig Nabi. Ini berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad saw yang sifatnya bukan inderawi atau material, namun dapat dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akal di manapun dan kapanpun.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw ditugaskan untuk masyarakat tertentu, karena itu mukjizat mereka hanya berlaku untuk masyarakat dan masa tertentu. Ini berbeda dengan Nabi saw yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu di mana atau kapanpun berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat material, karena kematerialan membatasi ruang dan waktu.
Kedua, Manusia megalami perkembangan dalam pemikirannya. Augus Comte (1798-1857) berpendapat bahwa pemikiran manusia dalam perkembangannya melewati tiga fase perkembangan yang masing-masing adalah : fase mistis (keagamaan), fase ontologis (metafisika) dan fase positif (ilmiah). Dalam fase ilmiah manusia menafsirkan fenomena yang ada tidak berdasarkan pada kekuatan Tuhan atau para dewa, juga tidak pada prinsip-psinsip sumber asal seperti pada pada fase metafisika. Tetapi manusia menafsirkan fenomena yang ada berdasarkan pengamatan yang teliti dan berbagai eksperimen hingga diperoleh hukum alam yang mengatur fenomena itu.
Umat para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw amat membutuhkan bukti kebenaran, yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Maka bukti-bukti tersebut harus demikian jelas dan langsung dapat terjangkau oleh indera mereka. Tetapi setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan dalam berpikir, maka bukti yang bersifat inderawi tidak dibutuhkan lagi. Itu sebabnya Nabi Muhammad ketika diminta bukti-bukti yang yang sifatnya demikian oleh mereka yang tiak percaya pada kenabian beliau, diperintah oleh Allah untuk menjawab :
سُبْحَانَ رَبِّيْ هَلْ كُنْتُ إِلاَّ بَشَرًا رَسُوْلاً 
“Maha suci Tuhanku, bukankah aku hanya sekedar manusia yang diutus. (Q.s al-Isra [17] : 93
Jika demikian maka membuktikan kebenaran suatu ajaran dengan mengunakan bukti-bukti yang bersifat suprarasional dan inderawi, tidak membantu mereka yang telah memiliki kemampuan raional. Menjadi sangat wajar jika sejak turunnya al-Qur’an Allah SWT. Tidak lagi memaparkan bukti-bukti kebenaran Nabi (Muhammad) dalam bentuk inderawi. Namun perlu dicatat bahwa ini bukan berarti  bahwa tidak terjadi hal-hal yang luar biasa dari atau melaui Nabi Muhamad saw. Keeeluar air dari celah-celah jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, dan lain-lain merupakan hal luar biasa yang telah terjadi. Al-Qur’an bahkan menginformasikan beberapa hal yang bersifat suprarasional yang terjadi atau dialami melalui Nabi Muhammad saw, seperti misalnya genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang Badr, sehingga menutupi penglihatan mereka. Lemparan tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut :
            وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلَكِن اللهَ رَمَى
Bukan enkau yang melempar ketika melimpar, tetapi Allahlah yang melempar.
Perlu dicatat bahwa semua itu bukan mukjizar yang dipaparka untuk menentang yang ragu, tetapi itu merupakan anugerah Allah SWT. kepada Nabi-Nya sekaligus rahmat dan bantuan kepada umat Islam.
            Mengenai mukjizat Nabi Muhammad saw. dalam buku yang berjudul “Mu’jizat al-Nabiy, yang ditulis oleh Muhammad Hamzah al-Sya’dawi menyatakan bahwa terdapat 35 mukjizat Nabi Muhammad.21 Sayangnya buku ini tidak menyebutkan sumber asli mukjizat tersebut. Jumlah mukjizat Nabi Muhammad sebetulnya lebih dari 35. Namun barangkali sampai hari ini manusia hanya baru mampu menghitung jumlah mukjizat itu sampai 35 saja. Selanjutnya marilah kita berbicara mengenai peristiwa-peristiwa luar biasa (khawaiq aladat) yang terjadi pada masa Nabi sebagaimana telah dilukiskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
             Dalam pandangan J.B Rhine peristiwa paranormal (khawaiq al-adat)     terjadi karena manusia mempunyai atau barangkali dapat disebut berisi sesuatu yang sifatnya non materil, yang disebut psi, sebuah huruf Yunani. Dia menghindarkan diri sejauh mungkin dari istilah agama yang bernama ruh, nyawa atau soul, meskipun yang dimaksud mungkin sama. Psike ini mempunyai kemampuan untuk menghasilkan gejala atau peristiwa yang disebut paranormal. Bidang ilmu yang membicarakan masalah ini adalah parapsychology.22 Peristiwa paranormal ini dikelompokan menjadi dua bidang pokok yaitu ; exstrasensory perception (ESP) dan psychokinesis (PK). Extrasensory perception terdiri dari tiga tipe ; telephaty, clairvoyance, dan pre-cognition.
            Telephaty adalah transper pikiran dari satu orang ke orang lain tanpa perantara indera (panca indera),23 atau ada juga yang mendefinisikan dengan sistem komunikasi antar pikiran. Dengan kalimat popular yang mudah dipahami adalah kemampuan untuk membaca pikiran orang lain tanpa perantara indera. Sedangkan Clairvoyance adalah persepsi atau pemahaman mengenai sesuatu objek atau peristiwa objektif juga tanpa perantara indera.24 Dengan bahasa yang lebih mudah clairvoyance adalah kemampuan untuk melihat benda yang tersembunyi atau terhalang oleh sesuatu benda padat yang tidak tembus pandang, atau suatu benda yang terletak di suatu tempat yag jauh. Sedangkan yang terakhir adalah precognition, adalah pemahaman mengenai peristiwa yang akan dating juga tanpa perantara indera. Dengan kata lain adalah mengetahui peristiwa yang akan dating, yang dalam bahasa jawa dikenal dengan istilah weruh sadurung winarah. Untuk peristiwa yang lampau sebagai kelanjutannya adalah retrocognition, memahami atau mengetahui peristiwa lampau. Ketiga bentuk pengalaman patanormal tersebut tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
            Bidang pokok kedua, psychokinesis, adalah pengaruh perseorangan yang menghasilkan efek fisik, operasi mental secara langsung atas suatu benda atau sistem energi fisik; dapat disebut juga dengan istilah mind over matter, atau extrasensory motor. Selanjutnya kita coba telusuru beberapa mukjizat Nabi dengan klasifikasi dan pendekatan seperti di atas.
            Ada beberapa peristiwa yang dapat diklasifikasikan ke dalam clairvoyance. Sesudah Rasulullah kembali dari perjalanan Isra dan Mi’rajnya orang-orang Qurais tidak percaya bahwa dia telah menjalanai suatu perjalanan yang begitu jauh. Pada masa itu perjalanan dari Mekkah ke Jerussalem dengan unta menghabiskan waktu satu bulan berangkat dan satu bulan kembali. Sehingga perjalanan yang hanya satu malam pulang pergi tidaklah dapat dipahami. Keadaannya lain dengan zaman sekarang, mungkin perjalanan tersebut dengan menggunakan pesawat dapat ditempuh hanya dalam beberapa jam saja. Abu Jahal yang kebetulan lewat di depan Nabi yang sedang merenungkan keajaiban Isra dan Mi’raj bertanya kepada Nabi. Nabipun menerangkan peristiwa tersebut sebagaimana yang telah dialaminya. Tentu saja Abu Jahl tiak percaya dan memanggil orang-orang Quraish yang lain agar ikut mendengarkan keterangan Nabi dan memperolok-oloknya. Sebagai seorang yang sering berpergian ke kota Jerussalem, tentu saja Abu jahl paham benar keadaan kota itu,dan iapun bertanya bagaimana keadaan kota Jerussalem tersebut. Nabi tidak dapat menerangkannya karena bukan merupakan tujuannya berpergian ke Bait al-Maqdis itu untuk memperhatikan keadaan. Seketika itu pula Allah memperlihatkan keadaan Bait al-Maqdis kepada Nabi dan akhirnya dia mampu menerangkannya kepada Abu Jahl yang kemudian membenarkannya.25
            Yang lebih mengherankan lagi adalah ketika Nabi menerangkan tentang kiamat. Pada saat itu juga diperlihatkan Allah kepadanya surga dan neraka seolah-olah ada di dinding dihadapannya. Surga dan neraka rasanya belum mungkin diperlihatkan kepada orang biasa. Pengertian kita tentang surga dan nerakapun juga tidak banyak, apakah itu merupaka konsep geografis atau perkembangan ruh manusia. Artinya apakah surga itu terdapat di suatu tempat di alam semesta ini ataukah masih ada di sekitar dan merupakan fungsi dari perkembangan keruhanian kita ; kalau ruh kita sudah berkembang, kita ditempatkan di surga dan demikian pula sebaliknya.
            Telephathy merupakan peristiwa yangsering dialami Rasulullah. Hanya saja keterangan dalam hadits tidak begitu jelas dan terperinci. Namun kita dapat bertanya mengapa kalau ada seseorang yang bertanya kepada Nabi jawabannya demikian, seolah-olah disesuaikan dengan keperluan orang tersebut. Demikian juga ada kesan pertanyaan yang sama namun jawabannya berlainan. Bukankah ini karena Nabi memahami apa yang terjadi dalam pikiran orang itu.
            Dalam Kitab Shahih Bukhari juz I ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa suatu waktu Nabi shalat bersama para sahabat termasuk Abu Hurairah. Nabi menghadap ke kiblat, tetapi dia tahu apa dan siapa yang terjadi di belakangnya. Adapun hadits tersebut berbunyi :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِى ههُنَا  
فَوَ اللهِ ما يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوْعَكُمْ وَلاَ رُكُوْعَكُم إِنِّى لاََرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِ. (رواه البخاري)         
      
“Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw bersabda : Adakah anda lihat mukaku menghadapa ke kiblat ? Demi Allah, bukan tidak tampak bagiku khusyu dan ruku kalian. Sesungguhnya aku dapat melihat kalian walaupun kalian berada di belakangku.
Dengan demikian Nabi mengetahui apa yang dilakukan oleh jamaahnya yang berdiri di belakangnya meskipun diasendiri menghadap ke Kiblat. Bukankah ini merupakan suatu transfer of thought dari orang ke orang.
Nabi dalam bahasa ingris diterjemahkan dengan prophet, yang salah satu artinya adalah prophecist (juru ramal), propechy adalah ramalannya. Nabi memang bukan juru ramal, tetapi dia diberi oleh Allah keistimewaan mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan dating, tidak semua peristiwa, tetapi hanya beberapa peristiwa saja. Karena seorang Nabi  merupakan pengasuh ummat, maka yang diketahuinya adalah apa-apa yang berkaitan dengan umatnya. Biasanya peristiwa yang akan datang itu diberitahukan dalam bentuk mimpi. Kemampuan mengatahui yang akan datang itu disebut dengan precognition, yang dalam bahasa Indonesia tidak terdapat istilah khusus untuk menterjemahkan kata tersebut, namun istilah weruh sadurung winarah dalam bahasa jawa atau sunda dianggap memadai untuk menterjemahkan istilah precognition di atas. Nabi Muhammadpun mengalami pengalamanan precognition tersebut melalui sebuah mimpi seperti diilustrasikan dalam sebuah hadits.26
Mimpi Nabi itu melukiskan apa yang akan terjadi atas manusia yang berbohong, tidak mau mengamalkan perintah Tuhan sebagaimana tercantum di dalam al-Qur’an, berzina, makan riba, Nabi Ibrahim, rumah buat kaum muslimn dan para syuhada, ribuan bahkan puluhan ribu tahun yang akan dating, atau bahkan tidak berdimensi waktu sekalipun. Mimpi yang dialami oleh Nabi tersebut adalah merupakan symbol, di mana orang-orang yang terdapat dalam mimpi tersebut bukanlah orang tertentu si A atau si B, melainkan dalam arti umum, siapa saja. Sedangkan kalimat yang terakhir yang diucapkan oleh Nabi dalam mimpi “angkatlah kepala Tuan, kataku “biarlah aku ke sana”. Jawabnya : “Sekarang masih ada sisa usia Tuan, nanti kalau sudah cukup masanya, tuan akan pergi ke tempat Tuan itu.” Perkataan tersebut mirip dengan perkataan orang-orang yang telah mengalami peristiwa life after death dalam istilah Parapsycholog. Raymond Moody Jr misalnya dalam bukunya yang berjudul life after death dia telah telah megumpulka beberapa kasus orang yang kta sebut secara klinis sudah meninggal, atau mati suri, tetapi kemudian hidup kembali.27 Waktu yang terlewat selama meninggal itu biasanya berkisar antara 10-15 menit. Umumnya dalam rentang waktu tersebut, seseorang yang meninggal, sel-sel otaknya akan kekuarangan oksigen sehingga tidak mungkin dapat dipakai lagi, dan tidak mungkin hidup kembali, namun pada kenyataannya ada bahkan banyak pengecualian. Ketika Moody Jr menanyai orang-orang tersebut, maka jawabannya sama atau hamper sama, sehingga oleh karenanya fenomena tersebut dapat dijadikan model. Di mana model tersebut adalah ; begitu seseorang meninggal, ia merasa melalui sebuah terowongan gelap, di ujung terowongan itu ia keluar dan menemukan dirinya berada di luar badannya, dan ia mampu melihat badannya sendiri berbaring atau terlentang di tempat kecelakaan.
Selanjutnya ia melihat badannya sendiri dirubung-rubung orang banyak. Kemudia dia bertemu dengan seseorang atau sesuatu yang disebut makhluk cahaya the being of light. Makhluk cahaya itu begitu ramahnya sehingga tiap orang akan senang bertemu dengan dia. Dia memperlihatkan riwayat hidup orang yang mati suri itu seperti kita melihat sebuah film, dan menunjukan tempat yang akan ditempatinya kemudian. Ketika orang yag mati suri itu akan memasuki tempat makhluk itu makhluk cahaya itu tidak mengijinkan dengan mengatakan; “belum waktunya karena masih ada sisi umur yang belum habis” dan dia disuruh kembali ke badannya, sehingga orang yang mati suri itu hidup kembali.
Karamat Fenomena supranatural Kewalian
            Karamat secara bahasa secara bahasa artinya adalah nama untuk memuliakan dan mengagungkan.28 Bila orang Arab berkata, “ ia mempunyai karamat,” maka artinya ia mempunyai keagungan. Sedangkan menurut  istilah, karamat mempunyai beberapa makna yaiut :  
  1. Sesuatu yang luar biasa yang Allah tampakan melalui tangan seseorang hamba yang saleh.
  2. Sesuatu yang luar biasa yang Allah tampakan melalui tangan seorang hamba yang saleh, dan dia bukan seorang nabi di masa sekarang dan masa yang akan datang.29 Serta tidak diiringi dengan dakwaan sebagai wali dan tidak pula sebagai pendahuluan untuk itu.
  3. Sesuatu yang luar biasa yang Allah tampakan melalui tangan seorang hamba yang saleh yang selalu mengikuti syariat nabi SAW, diiringi dengan aqidah yang benar dan amal shaleh, baik ia mengetahi adanya karamat atau tidak mengetahuinya.
Definisi terakhir ini menambahkan suatu syarat pentig yag mesti diketahui oleh orang-orang yang mengaku sebagai sufi, yaitu bahwa al-shalah (kebaikan) asasnya adalah memiliki komitmen terhadap Islam, baik secara tekstual maupun spiritual mengikuti sunnah Nabi saw, dan bukan sebagai pembuat bid’ah. Oleh karena itu tasawuf dari golongan ahli bid’ah tidak diterima, karena mereka tidak berpegang kepada sunnah Rasulullah saw. Sebab mengiktui sunnah Rasulullah adalah perintah yang isyariatkan, dan syariat merupaka ketentuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, di mana risalah Islam terdiri atas dasar al-Qur’an dan al-Sunnah.Keduanya saling menguatkan dan penjelas bagi yang lain.30
Dengan demikian karamat adalah merupakan perkara yang luara biasa (khawaiq al-adat) yang muncul pada diri seseorang yang beriman dan beramal saleh serta tidak meyertai pengakuan sebagai seorang Nabi. Jika tidak disertai dengan amal saleh maka itu dinamakan  istidraj, sedang apabila disertai dengan pengakuan sebagai seorang Nabi maka fenomena tersebut dinamakan dengan mukjizat. Karamat bukan merupakan syarat dari kewalian. Apabila munculkaramat pada diri seorang wali, itu hanya sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya dan kedudukan luhurnya, namun ia tetap berpijak kepada petunjuk syariat yang diajarkan Oleh Nabi saw. Jika tidak demikian, karamat hanyalah merupakan hinaan setan. Diantara orang-orang yang shaleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya dan orang lainpun tidak tahu, bahkanada pula yang orang lain tahu, tetapi dia sendiri tidak mengetahuinya. Tetapi bagaimanakan kita dapat mengetahui bahwa seseorang itu wali atau bukan. Sebab kita tidak dapat mengetahui bahwa orang lain itu adalah wali. Orang kebanyakan mengetahui wali dari orang lain, atau dari peristiwa atau kemampuan yang kadang-kadang terlihat, atau dari peruatannya sehari-hari, ketaatan menjalankan ibadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya.
Peristiwa paranormal atau khawaiq al-adat yang terjadi atas para wali ini agak sukar dideteksi. Pertama, karena mereka sendiri, sesuai dengan ajaran agama, selalu menyembunyika peristiwa itu. Kedua, karena biasanya yang mengabarkan adanya kemampuan paranormal para wali itu adalah murid-muridnya, lama sesudah para wali itu sendiri meninggal. Tulisan murid para wali itu sering controversial, di stu pihak oleh orang yang tidak menyetujinya dianggap tidak masuk akal, di lain pihak oleh pengikut wali itu sendiri dipuja-puja sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Lihat saja contohnya manaqib syekh-syekh seperti Syeikh Abd al Qadir al-Jailany, Syeikh Naqsabandy, Sukhrawardi dan lain-lain. Adalah ironis kalau kisah dan ceritera para wali itu dianggap sebagai sesuatu yang controversial, sedangkan ceritera yang sama mengenai orang biasa justru tidak.31 Lihat saja kasus peristiwa paranormal yang dialami oleh orang biasa yang dikumpulkan oleh Louisa E. Rhine misalnya. Memang benar peristiwa paranormal wali-wali itu nampaknya tidak masuk akal, tetapi itu hanya bagi merekayang belum mempelajari parapsychology. Bagi mereka yang sudah mempelajari bahkan telah melakukan riset dan eksperimen-eksperimen tentang peristiwa itu sama sekali bukan sesuatu yang tidak masuk akal. Sekedar ceritera mengenai listrik, telepon dan alat elektronik lainnya jelas tidak masuk akal bagi orang-orang yang sama sekali belum pernah melihatnya, tetapi bagi orang yang telah menikmatinya sama sekali tidak.32
Beberapa kemampuan, peristiwa paranormal seperti clairvoyance, telephaty, precognition dan psychokinesi terjadi juga atas para wali, bahkan nampak bukan sebagai hal yang luar biasa. Salah satu sumber riwayat peritiwa paranormal itu adalah terdapat dalab buku tadkirat al-awliya sebagai buah karya dari seorang sufi yang bernama Farid al-Din Athar. Namun sayang penulisan pada zamannya, tradisi untuk menyebutkan sumber seperti kita menuliskannya dalam footnotes ata endnotes tidaklah biasa, akhirya terserah kepada kita untuk mempercayainya ataupun tidak. Namun yang penting di sini bagi kita ialah bagaimana kita meyikapi peristiwa-peristiwa tersebut dalam proporsi yang tepat dan kita coba bandingkan dengan pengalaman-pengalaman luar biasa yang banyak diteliti oleh ahli-ahli parapsychology. Berikut adalah salah satu contoh dari peristiwa paranormal yang dialami oleh seorang sufi yang bernama al-Halaj misalnya sebagaimana diuraikan dalam kitab Tadkirat al-Awliya tersebut.
Nama lengkap al-Hallaj adalah Husein Ibn Mansur al-Hallaj yang lahir di Persia pada tahun 858 M dan kemudian menetap di Baghdad.33 Ia adalah seorang sufi yang megajarkan faham hulul, yakni faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusiatertentu untuk mengabil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.34 Pendapat orang mengenai al-Hallaj ini beragam sekali. Ada yang menganggap bahwa dia bukan seorang muslim, namun banyak juga yang menganggap bahwa dia sudah mencapai tingkat kesempurnaan sebagai manusia. Pertanyaannya sering tidak dapat dipahami kebanyakan orang sehingga akhirnya ia dihukum mati dengan cara yang keji. Penulis sengaja jadikan dia sebagai contoh bahwa kalau jalan pikiran sesorang tidak dapat mengikuti jalan pikiran kebanyakan orang, maka orang itu akan diperlakukan tidak wajar.  Bukan hanya ahli agama saja tetapi juga ahli ilmu pengetahuan dan ahli filsafat. Begitu pula dengan al-Hallaj, ia dihormati dan penemuannya dianggap penting ketika tokoh yang satu ini sudah meninggal. Sekarang, setelah ilmu bahasa, tasawuf, ilmu komunikasi dan lain-lain berkembang,mulailah orang-orang mencari dan mentafsirkan apa yang dikatakannya. Pernyataan “Ana al-Haqq” dikaji kembali. Pernyataan itu tidak seperti  arti bahasanya yang sepintas lalu dapat diartikan sebagai pernyataan murtad dan lain-lain. Tetapi suatu pernyataan dalam keadaan “altered states of consciousness” yang berbeda dengan pernyataan dalam keadaan kita sehari-hari, akibatnya orang-orang yang menentangnya banyak, tetapi yang mendukungnya juga banyak.
Al-Hallaj adalah seorang prototipe yang sangat mencintai Tuhan. Karena peryataannya yang terkenal itu, dia mula-mula dimasukan ke dalam penjara. Pada malam prtama dia dipenjara, penjaga penjara mendatangi selnya tetapi mereka tidak dapat menemukannya di sana. Mereka mencarinya ke mana-mana di dalam penjara itu, tetapi tetap tidak dapat menemukannya. Pada malam kedua para penjaga tidak dapat menemukan dia dan penjaranya. Pada malam ketiga para penjaga baru menemukan dia di dalam penjara, jadi dua-duanya yakni al-Hallaj dan sel penjaranya dapat ditemukan. Kemudian penjaga itupun menginterogasi al-Hallaj, “di manakah kamu pada malam pertama, dan dimanakah kamu dan penjara pada malam kedua?” mereka bertanya. Sekarang kedua-duanya kamu dan penjara muncul kembali, gejala apa ini?. Al-Hallaj menjawab. “Pada malam pertama saya ada di kehadiran (Presence), karena itu saya tidak di sini. Pada malam kedua kehadiran ada di sini, karena itu saya dan penjara tidak di sini. Pada malam ketiga saya dikirimkan kembali, sehingga hokum dapat dipertahankan. Kemarilah dan kerjakanlah tugasmu.
Ketika al-Hallaj dipenjara di dalamnya ada 300 penghuni penjara. Malam itu dia berkata kepada mereka. “Wahai penghuni penjara, inginkah kamu bebas?”. Mengapa anda tidak membebaskan diri anda sendiri? mereka menjawab. Saya adalah tahanan Tuhan. Saya adalah penjaga keselamatan jawabnya. Kalau saya menghendaki, dengan satu isyarat saya dapat melepaskan semua ikatan. Al-Hallaj memberi isyarat dengan jarinya, dan semua ikatan putus. Sekarang ke mana kita pergi ? Tanya penghuni penjara itu, pintu gerbang penjara dikunci, al-Hallaj memberi isyarat lagi dinding penjara terpecah. Sekarang pergilah dia berteriak. Apakah anda tidak pergi juga ? mereka berteriak. Tidak dia menjawab, saya punya satu rahasia dengan Dia yang tidak dapat dikatakan kecuali di tiang gantungan. Ke manakah orang-orang yang di penjara ini pergi ?, Tanya penjaga keesokan harinya. Aku membebaskan mereka kata al-Hallaj. Kenapa kamu tidak pergi ?, mereka bertanya. Tuhan punya alasan menyesali aku, karena itu aku tidak pergi kata al-Hallaj.
Demikian salah satu kisah dari sekian banyak ceritera  luar biasa mengenai al-Hallaj. Ceritera ini memberikan contoh lagi mengenai psychokinesis, atau mind over matter. Sebenarnya masih banyak lagi ceritera mengenai al-Hallaj ini, tetapi cukuplah kiranya kisah ini mejadi salah satu ilustrasi mengnai gejala-gejala paranormal atau khawariq al-adat atau karamat yang dimiliki oleh para wali.
      
Maunat Persepsi Supranatural Manusia Biasa
            Maunat adalah peristiwa paranormal yang dialami oleh manusia biasa, bukan nabi dan juga bukan wali. Batas antara wali dan manusia biasa itu sebenarnya tidak jelas. Seorang manusia yang rajin beribadah, menjalankan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangann-Nya akan semakin dekat dengan kedudukan wali. Sering kita dengar istilah setengah wali di kalangan masyarakat, yang menunjukan tingginya pandangan masyarakat terhadap orang itu, dan masyarakat melihat kerajinan ibadahnya, pebuatan baiknya kepada sesame yang lain.
            Peristiwa paranormal di kalangan orang biasa tidak sering terjadi pada setiap orang tetapi jumlah orangnya banyak, meliputi seluruh dunia, tidak hanya sekarang tetapi juga pada zaman dahulu, bahkan mungkin zaman dahulu lebih banyak. Tidak hanya terbatas pada satu kepercayaan atau keyakinan atau agama, tetapi semua. Seseorang tidak banyak atau tidak sering mengalami peristiwa paranormal, hanya sekali atau dua kali seumur hidup. Tetapi yang satu kali ini seringkali merubah pandangan hidupnya sama sekali, misalnya ia tidak takut menghadapi maut, padahal ia sehari-harinya adalah penakut, menjadi orang yang pengasih dan penyayang padahal sehari-harinya ia adalah orang yang galak pelit dan lain-lain.
            Peristiwa paranormal ini telah bayak didokumentasi oleh ilmuwan, yang tentunya dengan menggunakan pendekatan dan persyratan keilmuan yang ketat. Salah satu ilmuwan yang mencurahkan perhatiannya pada peristiwa ini adalah Dr. Louise E. Rhine dari sebuah lembaga yang terkenal yakni The Fondation for Research on nature of man California utara Amerika Serikat. Dia mengumpulkan sejumlah kasus dan dianalisis sesuai dengan metode keilmuan. Yang hasilnya telah didokumentasikan dalam bukunya yang masing-masing berjudul Hidden Chanels of Mind. Di mana di dalamnya di muat hasil penelitian dan laporan mengenai peristiwa-peritiwa paranormal, mulai dari peristiwa yang dikatagorikan dengan telephaty, clairvoyance, precognition dan psychokinesis.35
            Telephaty, clairvoyance, dan precognition, atau yang disebut juga dengan extrasensory perception adalah tiga kemampuan manusia yang diajukan oleh J.B Rhine. Ditambah satu lagi sebagai imbangannya yaitu; psychokinesis atau disebut juga extra sensory motor. Selanjutnya disamping tiga kemampuan yang dikemukakan oleh Rhine tersebut masih ada lagi kemampuan manusia yang statusnya masih controversial yakni Altered States Consciousness ( kesadaran yang berubah). Yaitu pengalaman di mana dimensi waktu tidak berlaku, atau setidaknya konsep waktu yang berbeda dengan alam yang sekarang kita alami ini. Dalam literatur tasawuf dikenal adanya gradasi alam wujud yang meliputi ; nasut, malakut, jabarut, dan lahut yang memang tidak dikenal dalam lapangan sain yang bersifat positiv. Penulis berkesimpulan bahwa seorang sufi atau wali yang ada dalam keadaan syathahat (seperti mabuk bagi orang yang melihat, tetapi sebenarnya bukan), ada dalam alam yangberbeda dengan ala mini, sehingga ukuran yang berlaku di ala mini tidak berlaku di alam tersebut, karenanya kita tidak dapat menghukumi mereka dengan hokum yang diberkalukan di dalam ala mini.
            Kedua adalah kemampuan apa yang disebut dengan istilah out of body experience, yang sekali lagi terjemahan dalam bahasa Indonesianya tidak ada, tapi padanan istilah yang dianggap pas untuk istilah tersebut adalah ngrogo sukmo dalam bahasa Jawa dan pecat raga dalam bahasa Sunda. Out of Body experience adalah suatu kemampuan untuk mengeluarkan sebagian dari tubuh manusia sehingga kesadarannya ada di luar badannya dan mengalami berbagai peristiwa seperti biasanya dengan badan utuh. Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa tubuh ini terdiri dati beberapa lapis. Pada pengalaman ini lapisan tubuh yang paling luar ditinggalkan, lapisan dalam yang lebih halus di bawa ke manapun. Pada waktu kita meinggal lapisan yang paling luar inilah yang ditinggalkan paling dulu, baru lapisan yang dalam hancur perlahan-lahan, tanpa harus kita kuburkan lagi karena bersatu dengan alam sekitarnya. Banyak ceritera di masa lampau mengenai orang-orang yang memiliki pengalaman seperti ini. Di mana seorang Kyai pada hari jum’at sore dia seolah-olah tidur, akan tetapi menurut ceritera orang sekampung bahwa ia baru sembahyang di Makkah. Ceritera ini tidak diceriterakan kepada semua orang, namun hanya kepada orang-orang yang terpercaya saja. Dan baru banyak diceriterakan setelah ia meninggal.
Ketiga adalah kemampuan manusia yang belum diteliti dan belum diberi nama adalah kemampuan manusia untuk tidur atau koma, atau barangkali pingsan atau apapun namanya selama beberapa bulan tanpa makan, minum ataupun bergerak. Dalam dunia binatang kemampuan itu disebut denga hibernation. Pada musim dingin di negara-negara subtopis ketika alam sekitar tidak dapat mensuplai dan memberi bekal makanan karena cuaca sangat dingin, binatang-binatang itu tidur selama tiga sampai empat bulan, tergantung pada letak daerah tersebut terhadap garis khatulistiwa. Di akhir musim dingin, ketika matahari mulai bersinar kembali, mereka mulai bangun kembali dan memulai kegiatan hidup sehari-hari seperti biasa. Dalam al-Qur’an terkenal kisah Ashab-al-Kahfi yang tidur menurut istilah kita selam ratusan tahun;  
Keempat adalah kemampuan manusia sebagai imbangan dari precognition. Kalau manusia ada yang mampu mengetahui peristiwa yang akan dating, dia juga mungkin mengetahui peristiwa yang lampau,yang sudah terjadi ribuan tahun yang lampau. Kemampuan ini disebut dengan retrocognition. Demikian apabila ada manusia yang mampu mengetahui pikiran manusia lain, maka tidak mustahil pula dia mengetahui pikiran (menurut istilah kita) binatang dan tumbuhan. Inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi Sulaiman a.s yang belum dapat ditiru atau dipelajari orang-orang zaman sekarang. 
    
           

    





1 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, Bandung, Mizan, 2003, hlm. 102
2 Lihat Syed Hosein Nasr, “Mulla Shadra : His teaching” dalam Nasr &Oliver Leaman, History of Islamic Philoshopy, jilid I, hlm. 644
3 Farid al-Din Aththar, Muslim Saint and Mistics : Episod from The Tadkirat al-Awlia’ (“memorial of The Saints” Terj A.J Arberry (London : Routledge & Kegan Paul, 1966), hlm. 59
4 A.S Hornby, Oxford AdvancedA Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1974, hlm. 559  
5 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epsiotemologi dan AksiologiPengetahuan. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 112
6 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hlm. 118
7 Quraisy Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jakarta, Pustaka Hidayah, 1997, hlm. 101
8 Kebenaran ilmu dalam prespektif filsafat ilmu modern adalah kebenaran yang berlaku pada metode-metode penyelidikan ilmiah yang merangkum tiga pilar utama sebagai penopang kebenaran sains. Tiga pilar utama tersebut adalah; logico, hepotetico, peripicatif. Artinya ilmu pengetahuan benar, apabila memanuhi tiga kriteria tersebut.Objek pengetahuanpun haya dibatasi pada objek objek inderawi yangbersifat empiris. Adapun pengalaman mistik, kenabian dan pengalaman-pengalaman spiritual lainnya adalah sebagai pengalaman yang tidak memiliki cognitive content (kandungan pengertian) dengan kata lain sebagai sesuatu yang tidak ada dan tidak layak dibicarakan dalam terminologi ilmu. Lihat misalnya ungkapan Sigmund Freud yang menyebutkan ide-ide agama tentang Tuhan dan alam gaib sebagai ilusi karena konsep-konsep tersebut muncul dari keinginan manusia (human whises) dan bukan dari realitas, Lihat Erich Fromm, Psycoanalysis and Religion, (New Haven Yale University Press, 1950), hlm. 12. Lihat pula Kees Bertens “Sigmund Freud dan Kritiknya Atas Agama,” dalam Panorama Filsafat Modern, Jakarta, Gramedia, 1987, hlm. 107-109     
9 Lihat misalnya. Ace Partadireja, Al-Qur’an Mukjizat, Karamat Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual, Yogyakarta, Dana Bhakti Pimayasa, 1997, hlm. 2
10 Ace Partadireja, Ibid, hlm. 2
11 Majdi Muhammad al-Syahawi, Karamat, terj. Hasbiyallah Husein, Jakarta, Sahara Publiser, 2005, hlm. 65
12 Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1995, hlm. 90  
13 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, Bandung, Mizan, 2004, hlm. 23
14 Ibid,  
15 Said Agil Husein al-Munawar, I’jaz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, Semarang, Dimas, 1994, hlm 1
16 Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulmu al-Qur’an, Manyurat al Ashr al-Hadits, t.p 1973, hlm. 259
17 Lihat misalnya Q.s Thaha [20] : 63-76
18 Q.s al-A’raf [7] : 74 dan al-Fajr [89] : 9
19 Q.s al-A,raf [7] : 73 dan al-Syu’ara [26] : 155-156
20 Q.s Ali Imran [3] : 49
21 Muhammad Hamzah al-Sya’dawi, Mu’jizat al-Nabiy, Kairo, Maktab al-Qur’an, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Oleh K.H Salim Bahreisy, “Menyaksikan 35 Mu’jizat Rasulullah, Surabaya, Pustaka Progresif, 1991.
22 Ace Partadiredja, Op.cit, hlm. 46
23 A.S Horby, Oxford Advanced LearnerDictionary of Current English, Oxford University Press, 1974, hlm. 888
24 A.S Horby, Op.cit, hlm. 150
25 Uraian lebih rinci mengenai hal ini baca Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Maraghi, Beirut, Libanon, Dar Ihya al-Turaots al-Arabiy, Juz 15, tt hlm. 6 
26 Untuk lebih jelas dan rinci mengenai uraian hadits yang menceriterakan mimpi Nabi Muhammad yang berkaitan dengan kejadian masa dating Lihat Al-Buchari, Shahih Bukhari, terj. H. Zainuddin Hamidy, dkk, juz II Jakarta, Wijaya, 1984
27 Ace Partadiedja, Op.cit, hlm. 56
28 Majdi Muhammad al-Syahawi, Karamat, Op.cit, hlm. 89
29 Abdu al-Salam al-syukari, Hidayah al-Murid, hlm. 177
30 Q.s al-Jatsiyah : 18-19
31 Ace Partadiredja, Al-Qur’an Mukjizat, Karamat, Mau’nat, Opcit. Hlm. 60
32 Lihat misalnya peristiwa ketika Raja faisal yang bijaksana dan berpikiran maju memperkenalkan radio dan telefon kepada masyarakat negerinya. Ia mendapat reaksi keras dari pemimpin agama dan ulama. Mereka tidak saja menolak kehadiran alat komunikasi modern itu, tetapi malah memandangnya sebagai barang tiruan setan. Sebab menurut mereka tidak mungkin benda mati bisa memproduksi suara dengan sendirinya, kecuali ada ruh di dalamnya, maka asosiasi mereka ialah kepada adanya setan dalam benda tersebut. Baru setelah diperintahkan untuk meyiarkan pembacaan ayat suci al-Qur’an, mereka mulai percaya apabila suara tersebut bukan suara setan. Karena mereka berpikir sebuah benda yang bisa memprodusir suara-suara dari kitab suci adalah mustahil suara setan. Sebab bukankah setan akan lari apabila mendengan ta’awwudz, sehingga tidak mungkin menyiarkan wahyu Illahi. Lihat Nurchalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, hlm. 253    
33 Harun Nasution, Falsafat &Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1995, hlm. 87
34 Harun nasution, Loc.cit, hlm. 88
35 Ace Partadiredja, Op.cit, hlm. 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar