Selasa, 20 Maret 2012


FALSAFAT DAN MISTISISME DALAM ISLAM



I. Pendahuluan
            Falasafat sebagai kebudayaan Yunani mulai diperkenalkan ke dunia timur oleh Alexander yang agung ketika mampu mengalahkan Darius di tahun 331 SM di Arbela (sebelah timur tigris). Alexander datang ke Persia sebagai wilayah yang ditaklukannya dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaannya, tetapi sebalikya ia berusaha untuk menyatukan antara kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia. Bahkan ia sendiri mulai berpakaian secara Persia dan orang-orang Persia banyak diangkat menjadi para pengiringnya. Selajutnya ia menikah dengan Statira, anak Darius dan pada waktu itu 24 dari jendral-jendaralnya dan 10.000 prajurit kawin atas anjurannya dengan waita-wanita Persia di Susa.
            Selain dari mengadakan hubungan perkawinan ia pun mendirikan kota-kota dan koloni-koloni yang peduduknya diatur sedemiian rupa sehingga terdiri dari kedua golongan penduduk Yunani dan Persia. Selanjutnya stelah Alexander meninggal kerajaan besar itu terbagi tiga : Macedonia di Eropa, kerajaan Ptolemeus  di mesir dengan Alexandria sebagai ibu kotanya, dan kerajaan Seleucid (Seleucus) di asia dengan kota-kota penting seperti Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactha di Persia sebelah timur. Ptolemeus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia (Iran). Sungguhpun usaha itu tak berhasil, namun kebudayaan dan peradaban Yunani telah meninggalkan bekas-bekas di Daerah tersebut. Bahasa Administrasi yang dipakai di sana umpamanya banyak menggunakan bahasa Yunani. Kemudia di Mesir dan Syria bahasa ini tetap dipakai bahkan setelah masuknya ajaran Islam ke dalam dua daerah itu dan hanya ditukar dengan bahasa Arab, baru pada abad ke VII. oleh Khalifah Bani Umayah yang bernama A. Malik Ibn Marwan (686-705 M), khalifah ke V dari dinasti Umawiyah.
            Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi pusat Ilmu pengetahuan dan falsafat Yunani. Di abad ke III masehi, pusat-pusat kebudayaan Yunai iniditambah di Jundisaphur yang letaknya tidak jauh dari kota Bhagdad (didirikan tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke dalam kekuasaan Islam, telah terdapat suatu akademi dan Rumah sakit. Bahkan ketika Raja Bani Abbas al-Mansyur di tahun 765 M. atas nasihat mentrinya Khalid Ibn Barmak (seorang Persia), kepala rumah sakit Jundishapur, Girgis Ibn Bukhtiyishu dipanggil untuk mengobatinya. Khalid Ibn Barmak sendiri berasal dari Bactra, di mana keluarga Barmak dikenal sebagai keluarga yang gemar dan menaruh minat yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan dan falsafat dan lebihcenderung kepada faham teologi mu’tazilah yang bersifat rasional.
            Kemudian ketika Harun al-Rasyid menjadi Khalifah pada tahun 786 M., dan sebelumnya ia belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak dan dengan demikian banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan falsafat. Maka di bawah pemerintahan Harun al-Rasyid penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Aarabpun mulai dilakukan. Banyak orang dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip-manuskrip ilmu pengetahuan Yunani. Pada mulannya yang menjai perioritas penterjemahan adalah buku-buku kedokteran, tetapi selanjutnya objek penterjemahanpun merambah ke dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan secara lebih luas dan termasuk pula di dalamnya falsafat. Awalnya buku-buku itu diterjemahkan  ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan di wilayah Mesopotamia pada waktu itu, kemudian baru ke dalam bahasa Arab. Namun akhirnya proses penterjemahan inipun dilakukan langsung ke dalam bahasa Arab.
            Penerjemah-penerjemah termashur pada masa itu adalah : Hunai Ibn Ishak (  W. 873 M), seorang Kristen yang pandai bahasa Arab dan Yunani (pernah berkunjung ke Yunani. Ia terjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Syria dan 14 buku lain ke dalam bahasa Arab. Menueur keterangan Hunayn mempunyai 90 pembantu dan murid dalam lapangan ini. Penerjemah yang lainnya misalnya Ishak Ibn Hunayn (W.910M), Thabit Ibn Qurra (825-901) seorang penyembah bintang, Qusta Ibn Luqa Seorang penganut agama Kristen,Hubays kemenakan Hunayn, dan Abu Bishr Matta Ibn Yunus (W.939 M), juga seorang penganut agama Kristen.
            Dengan kegiatan penterjemahan ini, sebagaian besar dari karangan-karangan Aristoteles, sebagian tertentu dari karangan-karangan Plato serta kaangan-karangan Neo-Platonosme, sebagian besar karangan-karangan Galen serta karangan karangan dalam bidang Ilmu kedokteran, dan jga karangan-kaangan mengenai ilmu pengetahuan yang ditulis oleh para ilmuwan Yunani dapat dibaca oleh para ulama Islam. Karangan-karangan tentang falsafat banyak menarik minak kaum Mu’tazilah, sehingga meeka banyak terpengaruh oleh ajaran rasioanal dalam bentuk pemujaan akal yang terdapat dalam falsafat Yunani. Abu Huzael al-Allaf, Ibrahim al-Nazzam, Bishr Ibn Mu’tamir dan lain-lain banyak membaca buku-buku falsafat. Dalam pembahasan mereka mengenai teologi Islam, daya akal tau logika yang meeka jumpai dalam falsafat Yunani banyak mereka pakai. Tiak mengherankan kalau teologi kaum Mu’tazilah mempunyai corak rasional dan liberal.
            Tidak dalam waktu lama akibat adanya kontak dengan budaya ilmu pengetahuan dan Falsafat Yunani tersebut, mak timbulah di kalangan umat Islam sendiri pata filosof dan ahli ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ilmu kedokteran, spserti Abu Abbas al-Sarkasyi (abad ke 9 M), Al-Razi (abad ke 10 M) dan lain-lain. Filosof Islam yang pertama sekali muncul di abad ke 9 M adalah al-Kindi, untuk diikuti oleh filosofifilosof  lainnya seperti al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain. Filosof -filosof ini banyak dipengaruhi oleh filosof-filosof Yunani, terutama Plato, Aristoteles, dan Plotionus. Juga dalam lapangan ilmu pengetahuan dikenal pula tokoh-tokoh seperti Muhammad, Ahmad dan Hasan, ketiganya bersaudara dan dikenal sebagai ahli matematika, al-Asma (740-828) yang mengarang buku tentag pengetahuan alam. Jabi dalam bidang kimia, al-Biruni dalam bidang astronomi, geografi, sejarah, matematika, Ibn al-Haitham dalam bidang optika dan lain-lain. Disamping itu masih banyak lagi filosof dan ilmuwan muslim yang banyak pengaruhnya bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern.
II. Pemikiran-Pemikiran Filsafat Dalam Islam dari Al-Kindi Hingga Ibn Rusyd
A. Pemikiran Filsafat Al-Kindi
            Ya’qub Ibn Ishak al-Kindi adalah merupakan filosof muslim pertama. Ia berasal dari Kindah di yaman tetapi lahir di Kufah (irak) pada tahun 796 M. Orang tuanya adalah gbernut di Basrah. Setelah dewasa iapergi  keBhagdad dan mendpat lindungan dari Khalifah al-Ma’mun (813-833) dan al-Mu’tasim (833-842). Al-Kindi menganut faham Mu’tazilah dan kemudian belajar falsafat. Zaman itu adalah zaman ketika penterjemahan buku Yunani ke dalam bahasa Arab sedang mengalami puncaknya, bahkan al-Kindi sendiri kelihatannya juga ikut aktif dalam gerakan penerjemahan ini, tetapi usahanya lebih banyak dicurahkan dalam memberi kesimpulan dari pada sebagai penterjemah. Karena ia merupakan orang yang beada, maka ia mampu membayar orang-orang untuk menterjemahkan buku-buku yang dianggap perlu olehnya.
            Kemudia ia sendiri mengarang buku-buku dan menurut keterangan Ibn al-Nadim buku-buku yang ditulisnya terdiri dari buku yang kecil dan besar berjumlah sekitar 241 buku yang terdiri dari bidang filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. Bahkan menurut buku yang berjudul The legacy of Islam dijelaskan bahwa buku al-Kindi tentang optika yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin telah banyak mempengaruhi  pemikiran empirisme Roger Bacon. Al-Kindi meninggal tahun 873.
Adapun pemikiran-pemikirannya dapat kita ringkas sebagai berikut :
1. Falsafat Ketuhanan
            Sebagai mana halnya para filosof Yunani dan filosof Ilsam lainnya, al-Kindi, selain sebagai filosof iapun merupakan ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan menurutnya terbagai ke dalam dua bagian  yaitu ; pertama, Pengetahuan Illahi (علم الهى), sebagai mana yang tercantum dalam al-Qur’an, yakni sejenis pengetahuan langsung yang diperoleh oleh para Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan. Sedangkan kedua, adalah pengetahuan manusiawi علم انسانى)), atau falsafat, dasarnya adalah pemikiran rasional.
            Menurut al-Kindi argumen-argumen yang dibawa al-Qur’an lebih meyakinkan dari pada argumen-argumen yang dimajukan oleh falsafat. Akan tetapi falasafat dan al-Qur’an tidak bertentangan. Sebab kebenaran yang diberitakan oleh wahyu tidak betentangan dengan kebenaran-kebenaran yang dimajukan oleh falsafat. Dengan demikian mempelajari falsafat tidak dilarang karena teologi adalah merupakan bagian dari falsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan untuk mempelajari teologi.
            Falsafat bagi al-Kindi adalah pengetahuan tentang yang benar (بحث عن الحق), maka di sinilah letak persamaan falsafat dan agama. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan baik; dan demikian pula dengan tujuan falsafat. Agama disamping wahyu adalah menggunakan akal, dan falsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama (الحق الأول) bagi al-Kindi ialah Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan dalam agama pun Tuhan merupakan dasarnya. Oleh karena itu falsafat yang paling tinggi bagi al-Kindi adalah falsafat tentang Tuhan. Dalam hal ini ia mengatakan :
            الفلسفة واشرف وأعلها مرتبة الفلسفة الأولى اعنى علم الحقّ الأوّل الذي هو علة كلّ حقّ
            “Falsafat yang termulia dan tertinggi martabatnya, adalah falsafat utama, yaitu ilmu tentang yang Maha Benar Pertama, yang menjadi sebag bagi segala yang benat”
            Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta bukan sebagai Penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal di zaman lampau (قديـم ) tetapi mempunyai permulaan, karena itu ial lbih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari ala mini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah merupakan emanasi dari yang satu. Akan tetapi paham emanasi ini tidak begitu jelas dalam pemikiran al-Kindi.
2. Falsafat Jiwa
            Jiwa dipandang inti-sari dari manusia, para filosof Islam banyak membicarakan masalah ini, apalagi ayat-ayat al-Qur’an atau hadits tidak menjelaskan hakikat roh itu dengan begitu jelas dan terperinci. Bahkan menurut sugesti yang ada dalam al-Qur’an manusia tidak akan dapat mengetahui roh, di mana roh adalah merupakan urusan Tuhan bukan urusan manusia. Tetapi sungguhpun demikian filosof-filosof Islam membahas soal ini berdasar pada falsafat tentang roh yang mereka jumpai dalam falsafat Yunani.
            Menurut al-Kindi roh tidak tersusun (بسيطـة), tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya berasal dari subsatnasi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud lain. Argumen yang dimajukan oleh al-Kindi tentang ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan sifat pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang bukan saja tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.
            Dengan perantaraan rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan manusia : pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan pancaindera hanya mengenai yang lahir saja. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Sedangkan pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari sifat binatang yang ada dalam tubuhnya. Melepaskan diri dari sifat ini adalah dengan cara meninggalkan dunia dan befikir serta berkontemplasi tentang wujud. Dengan kata lain seorang harus bersifat zahid. Apabila roh telah dapat meninggalkan keinginn-keinginan badan, bersih dari segala noda kematerian, dan senantiasa berfikir tentang hakikat-hakikat wujud, dia akan menjadi suci, dan ketika itu akanlah dapat menangkap gambaran-gambaran hakikat. Tak ubahnya seperti cermin yang dapat menangkap gambaran-gambaran benda yang ada di depannya. Pengetahuan dalam paham ini merupakan emanasi. Karena roh adalah cahaya dari Tuhan, roh dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan. Tetapi apbila roh-roh kotor, maka sebagai halnya dengancermin yang kotor roh tak dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya yang berasal dari Tuhan.
            Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Ia tidak hancur, karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan. Selama dalam badan roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan roh memperoleh kesenangan yang sebetulnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan roh pergi kea lam kebenaran atau alam akal (عالم العقل – عالم الحقّ) di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Di sinilah terletak kesenangan abadi.
            Hanya roh yang sudah suci di dunia ini dapat pergi kea lam kebenaran itu. Roh masih kotor dan belum bersih pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru pindah ke Merkuri dan demikianlah baik stingkat demi-setingkat hingga ia akhirnya benar-benar bersih, dan sampai kea lam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan leihat Tuhan.
            Jiwa mempunyai tiga daya : daya bernafsu (القوة الشهوانية), daya pemarah (القوة الغضبية ), dan daya berfikir (القوة العاقلة). Daya berfikir itu disebut akal. Menurut  al-Kindi ada tiga macam akal : akal yangbersifat potensial (الذي بالقوة); akal yang telah keluar dari sifat potensial dan menjadi aktual (الذي خرج من القوة الى الفعل); dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas yang disebut dengan :
            فى حالة من الفعل ظاهرة حين يباشر الفعل, العقل الذي تسميه الثانى.
            Dalam keadaan actual nyata, ketika actual, akal yang kami sebut “yang kedua”
Akal yang bersifat potensial tak bisa mempuyai sifat actual jikatidak ada kekuatan yang menggerakannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas (العقل الذي بالفعل ابدا ). Akal ini karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi actual. Sifat-sifat akal ini  adalah  menurut al-Kindi adalah :
  1. Ia merupakan akal pertama (إنه العقل الأول ).
  2. Ia Selamanya dalam aktualitas (إنه بالفعل أبدا ).
  3. Ia merupakan spesies dan genus.
( انه نوعية الأشـياء الّتي هي بالفعل ابدا. الأنواع  والأنجـاس لهـا وجود خـارجيّ وهي تكوّن العقل الأول.)
  1. Ia membuat akal potensial menjadi akal actual berfikir.
( انه المخرج النّفس الى ان تصير بالفعل عـاقلة بعد ان كانت عـاقلة بالقوة .)
  1. Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain dari padanya.
(انه ليس هو وعـاقله شـيئا احـدا ).
Bagi al-Kindi manusia disebut akil, jika ia telah mengetahui Universals, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang diluar itu (إذا اكتسب هـذا العقل الخـارجي   ). Akal pertama ini bagi al-Kindi mengandung arti banyak, karena dia adalah universal (الكلـيات). Dalam limpahan dari yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak.
B. Pemikiran Filsafat Al-Razi
            Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria al-Razi lahir di Ray, sebuah kota dekat Teheran, tahun 863 M. dan wafat pada tahun 925 M. Ia pernah menjadi direktur rumah sakit Ray, kemudian juga direktur rumah sakit di Baghdad. Ia terkenal di Barat dengan nama Rhazes dari buku-bukunya tentang ilmu kedokteran. Karangannya yang terkenal adalah tentang “Cacar dan Campak” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan di tahu 1866 masin dicetak untuk keempat puluh kalinya. Al-Hawi (comprehensive book) merupakan Ensiklopedi tentang ilmu kedokteran, tersusun lebih dari 20 jilid, dan isinya mengandung ilmu kedokteran Yunani, Syria dan Arab. Di Tahun 1279 M, ensiklopedia ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh seorang sarjana Yahudi yang di Sisilia yang bernama Faraj Ibn Salim. Semenjak 1486 M. ensiklopedi ini berkali-kali dicetak dan dipakai di Eropa hingga abad ke XVII M. Selanjutnya pemikiran-pemikiran dari al-Razi ini dapat diringkas sebagai berikut :


1. Falsafat Lima Kekal
            Falsafatnya terkenal dengan doktrin lima yang kekal kekal : Tuhan, jiwa universal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut, di mana ia menyebutkannya dengan :
            الباري تعالى والنّفس الكلّيـة والهيولا الأولى والمـكان المطلق والزّمـان المطلـق.
            Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu antara duration (الدهر   ), dan time ( الوقت). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir dan yang kedua disifati oleh angka. Bagi benda kelima hal ini ada :
a). Materi merupakan apa yang ditangkap dengan pancaindera tentang benda itu.
b). Ruang karena materi mengambil tempat.
c). Zaman karena materi berubah-ubah keadaannya.
d).Diantara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Dan diantara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur.
e). Semua ini perlu pada sang pencipta yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
            Dua dari yang lima kekal itu hidup dan aktif yakni ; Tuhan dan roh. Sedangkan satu dari lima kekal tersebut yang bersifat tidak hidup dan pasif, ialah materi, adapun dua lainnya tidak hidup, tidk aktif, dan tidak pula pasif, ialah ruang dan masa.
            Materi menurut al-Razi adalah kekal, karena creation ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan) merupakan suatu yang tidak mungkin. Apabila materi kekal, maka ruang mesti kekal, karena materi tidak boleh tidak mesti bertempat dalam ruang. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan adanya zaman, maka zaman mesti kekal pula dapabila materi kekal. Materi pertama atau materi absolut mempunyai bentuk atom yang masing-masing mempunyai volume. Atom yang padat merupakan atom tanah, yang agak jarang air, yang lebih jarang atom udara dan yang lebih jarang lagi atom api. Apabila ala mini hancur, maka ataomnya pun akan cercerai berai kembali.
2. Roh dam Materi  
            Materi pertama meskipun kekal, tapi alam tidaklah kekal. Alam diciptakan Tuhan bukan dalam arti creatio ex-nihilo, tetapi penciptaan dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Menurut al-Razi Tuhan pada mulanya tidak berniat membuat ala m ini. Tetapi pada suatu ketika roh tertarik kepada materi pertama, bermain dengan materi pertama itu, tetapi materi pertama berontak. Tuhan datang menolong roh dengan membentuk ala mini dalam susunan yang kuat sehingga roh dapat mencari kesenangan materi di dalamnya. Tuhan mewujudkan manusia di mana roh dapat mengambil tempat dan bermain di dalamnya. Terikat kepada materi, roh lupa pada asalnya dan lupa bahwa kesenangan yang sebenarnya bukan terletak dalam persatuan dengan materi tetapi dalam melepaskan diri dari materi. Oleh karena itu Tuhan mewujudkan akal, yang berasal dari zat Tuhan sendiri. Tugas akal ialah untuk menyadarkan manusia yang telah terperdaya oleh kesenangan materi, bahwa alam materi ini bukanlah alam yang sebenarnya. Alam yang sebnarnya dan kesenangan yang sebenarnya berada di luar alam materi dan alam itu dapat dicapai hanya dengan falsafat. Roh akan tetap tinggal di alam materi ini, selama ia tak dapat mensucikan diri dengan falsafat. Baik dalam bentuk reinkarnasi atau dalam bentuk pindah dari satu planet ke planet lain, seperti pendapat al-Kindi pemikiran al-Razi mengenai inipun tidak jelas. Namun apabila seluruh roh telah bersih, seluruhnya akan kembali kea lam asalnya. Pada saat itu alam materi ini akan hancur, dan roh dan materi kembali ke asalnya semula. Alam ini adalah terbatas dan hanya satu, dan di luar alam terdapat Tuhan.
3. Rasio dan Agama
            Al-Razi adalah seorang rasionalis murni, di mana ia hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya kepada kekuatan wahyu dan perlunya diutus para Nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik serta yang buruk, untuk tahu kepada Tuhan dan mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia dalam pandangan al-Razi , pada dasarnya mempunyai daya berfikir yang sama besarnya, sedangkan timbulnya perbedaan dalam cara berfikir manusia itu dikarenakan berlainan pendidikan dan suasana perkembangannya. Nabi-nabi dalam pandangan al-Razi telah membawa kehancuran bagi umat manusia, dengan ajaran-ajarannya mereka telah menjadikan manusia untuk saling bertentangan. Bahkan ajaran-ajaran itu menimbulkan perasaan untuk saling membenci diantara umat manusia yang terkadang meningkat menjadi peperangan agama.
            Semua agama ia kritik, orang yang tunduk kepada agama menurutnya, karena tradisi, kekuasaan yang ada para pemuka agama, dan karena tertarik pada upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang sederhana dalam pemikiran. Selanjutnya ia berpendapat bahwa al-Qur’an baik dalam bahasa, dan gaya maupun dalam hal isinya, bukan lah merupakan mu’jizat. Al-Razi lebih mementingkan buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan dari pada buku-buku agama. Tetapi sungguhpun ia menentang agama pada umumnya, ia bukanlah seorang ateis, malahan ia dapat digolongkan sebagai seorang monoteis yang percaya terhadap adanya Tuhan sebagai penyusun dan pengatur ala mini.
            Dalam falsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ia dekat kepada falsafat Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali kepada Tuhan roh manusia harus terlebih dahulu disucikan dan yang dapat mensucikan roh ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Bagi al-Razi jalan untuk mensucikan roh adalah falsafat. Dalam faham Pythagoras adal istilah yang disebut the transmigration of soul, dan mengenai ini sekali lagi dalam faham al-Razi tidak jelas. Dengan demikian al-Razi lebih dekat dan menyerupai eorang zahid, dalam hal hidup kematerian. Tetapi ia menganjurkan moderasi, jangan terlalu bersifat zahid tetapi pula jangan terlalu mencari kesenangan. Malahan menurutnya manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai kepada kebinasaan, misalnya ; tidak makan, tidak berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.
            Al-Razi adalah filosof yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun itu betentangan dengan faham yang dianut umat Islam seperti :
  • Tidak percaya kepada wahyu
  • Al-Qur’an bukan mu’jizat
  • Tidak percaya kepada para Nabi
  • Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan
Tetapi sungguhpun demikian nama al-Razi tercantum diantara pemikir-pemikir Islam lainnya dalam (تاريخ حكماء الإسلام ) karangan Zahir al-Din al-Baihaqi. Bahkan dalam buku (طبقـات الأمم) karangan Abu al-Qasim Sa’id Ibn Ahmad al-Andalusi, ia disebut sebagai dokter umat Islam yang tiada tandingannya (طبيب المسلم غير مدافع).


3. Pemikiran Filsafat Al-Farabi
            Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahirdi Wasij, suatu desa di wilayah Farab (Transixiana) pada tahun 870 M. Menurut keterangan ia berasal dari Turki dan orang tuannya adalah seorang jendral. Al-Farabi sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab kemudia ia pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan saat itu. Di sana ia belajar kepada Abu Bishr Matta (seorang penterjemah) dan tinggal di Baghdad selam 20 tahun. Selanjutnya ia pindah ke Allepo dan tinggal di istana Saif al-Daulah dan memusatkan perhatiannya kepada falsafat dan ilmu  pengetahuan. Istana Saif al-Daulah adalah tempat pertemuan para ahli ilmu pengetahuan dan falsafat di waktu itu, dalam umur 80 tahun al-Farabi wafat di Alepo tetaptnya pada tahun 950 M.
            Al-Farabi berkeyakinan bahwa falsafat tidak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang-orang awam. Oleh karena itu filosof harus menuliskan pemikiran-pemikiran falsafat dan pendapat mereka dalam gaya bahasa yang samara, agar jangan dapat diketahui oleh sembarangan orang, di mana hal ini agar iman dan keyakinan mereka (masyarakat awam) tidak menjadi kacau.
            Agama dan falsafat dalam pandangan al-Farabi tidak bertentangan, karena sama-sama membawa dan mengajarkan kebenaran. Adapaun tema-tema penting dari pemikiran falsafatnya adalah :
1. Falsafat Emanasi ( pancaran )
            Melalui falsafat emanasi al-Farabi berupaya untuk menjelaskan yang banyak bisa muncul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berobah, jauh dari materi, serta jauh dari arti banyak. Maha Sempurna dan tidak berhajat kepada apapun. Dengan demikian menurut al-Farabi hakikat Tuhan, dan bagaimana alam materi yang banyak dan beragam ini muncul dari Yang Maha Satu, serta proses terjadinya ala mini dapat dijelaskan secara rasional melalui falsafat emanasi (pancaran).
            Tuhan menurutnya adalah merupakan akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (الوجود الأول) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجود الثانى) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (العقل الأول, first intelligence), yang tak bersifat materi   (جوهر غير متجسم أصلا ولا فى مدة). Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud ketiga (وجود ثالث) disebut akal kedua (,العقل الثانى, the second intelligence). Wujud II atau akal pertama itu juga berpikir tentang diriya dan dari situ timbulah langit pertama  (السماء الاولى, first heaven).
Wujud III / Akal Kedua         ------------         Tuhan =  Wujud ke IV / Akal ketiga
                                                ------------         dirinya =   Bintang-bintang (الكواكب الثابتـة)
Wujud IV /Akal Ketiga          ------------         Tuhan  =   Wujud V /Akal Keempat
                                                ------------         dirinya =   Saturnus (كرة الزهل)
Wujud V / Akal Keempat       ------------         Tuhan  =   Wujud VI Akal Kelima
                                                ------------         dirinya =    Jupiter (كرة المشترى)
Wujud VI/Akal Kelima          ------------         Tuhan  =   Wujud VII /Akal Keenam
                                                ------------         dirinya =    Mars (كرة المريخ)
Wujud VII/Akal Keenam       ------------         Tuhan  =    Wujud VIII/Akal Ketujuh
                                                ------------         Tuhan  =     Matahari (كرة الشمس)
Wujud VIII/Akal Ketujuh      ------------         Tuhan  =     Wujud IX / Akal Kedelapan
                                                ------------         dirinya =     Venus ( كرة الزهرة )
Wujud IX /Akal Kedelapan    ------------         Tuhan  =     Wujud X / Akal Kesembilan
                                                ------------         dirinya =     Mercury ( كرة العطـارد )
Wujud X / Akal Kesembilan   ------------         Tuhan  =     Wujud XI / Akal Kesepuluh
                                                ------------         dirinya =     Bulan ( كرة القمر )
            Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh munculah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah. Jadi 10 akal dan sembilan langit (dari teori Yunani tentang sphere) yang kekal berputar di sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam (tidak bermulanya) atau baharunya alam, al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa ala mini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu.
2. Falsafat Kenabian
            Akal yang kesepuluh itu dapat disamakan dengan malaikat dalam Islam. Para filosof dapat mengetahui hakikat-jakikat karena berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Nabi atau Rasul demikian pula dapat menerima wahyu karena mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh. Tetapi kedudukan Nabi dan Rasul lebih tinggi dari para filosof. Rasul atau Nabi adalah merupakan pilihan, di mana mereka mampu bekomunikasi dengan akal kesepuluh bukan atas dasar kehendaknya pribadi, tetapi atas pemberian dan anugerah Tuhan. Sedangkan para filosof dapat melakukan kemunikasi tersebut atas upayannya sendiri, yaitu dengan latihan dan kontemplasi.
            Selanjutnya para filosof dapat melakukan komunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal yaitu akal mustafad (acquired intellectual); sedangkan Nabi atau Rasul tidak perlu mencapai tahap akal mustafad itu, karena Nabi dan Rasul mengadakan kontak dengan akal kesepuluh bukan melalui akal, melainkan dengan daya pengetahuan yang disebut dengan imajinasi. Para Rasul dan Nabi diberi daya imajinasi yang sangat kuat sehingga dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh tanpa melalui latihan sebagaimana dilakukan oleh para filosof. Sehingga dengan daya imajinasi yang kuat itu Rasul dan Nabi dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh pancaindera dan dari tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh. Daya imajinasi yang begitu kuat hanya diberikan kepada para Rasul dan Nabi.
            Oleh karena filosof dan Nabi/Rasul mendpat pengetahuan mereka dari sumber yang satu yaitu akal Kesepuluh, maka pengetahuan falsafat dan wahyu yang ditrima Nabi tak bisa bertentangan. Mu’jizat terjadi karena hubungan engan akal kesepuluh dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan. Falsafat ini dimajukan oleh al-Farabi untuk menentang aliran yang tidak percaya kepada Nabi, RAsul dan wahyu sebagaimana dikemukakan oleh pemikir seperti al-Razi dan tokoh-tokoh lainnya pada zaman itu.
3. Teori Politik
            Pemikiran al-Farabi mengenai politik erat kaitannya dengan pemikirannya mengenai falsafat kenabian. Uraian lengkap mengenai falsafat politik al-Farabi terdapat dalam bukunya yang berjudul (آراء اهـل المديـنة الفـاضـلة, model city. Kota layaknya sebuah badan manusia yang terdiri dari bagian-bagian di mana yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat serta memiliki fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan seluruh badan. Demikian pula hal nya dengan kota (masyarakat), di mana di dalamnya masing-masing anggota harus diberikan kerja sesuai denga kesanggupannya masing-masing. Adapaun pekerjaan terpenting dalam masyarakat adalah pekerjaan kepala masyarakat yang dalam tubuh manusia diumpamakan dengan pekerjaan akal. Kepalalah sumber dari segala macam aturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Sehingga ia mesti memiliki persyaratan-persyaratan seperti ; memiliki tubuh yang sehat kuat dan pintar, cinta kepada ilmu pengetahuan dan keadilan. Ia harus mempunyai akal dalam tingkat ketiga, akal mustafad (acquired intellect) yang telah dapat mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh pengatur bumi kita. Sebai-baiknya kepala adalah Nabi atau Rasul. Sehingga kepala yang serupa inilah yang dapat mengadakan peraturan-peraturan yang baik dan berfaedah bagi masyarakat, sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, di mana semua anggota masyarakat memperoleh kesenangan, karena hak-hak mereka benar-benar ditunaikan dan diperhatikan. Tugas kepala negara bukan hanya mengatur negara dan pemerintahan, tetapi lebih dari itu meeka berkewajiban untuk mendidik masyarakat manusia hingga mempunyai akhlak yang baik. Apabila sifat-sifat yang dekat dan menyerupai para Nabi dan Rasul tak terdapat dalam satu orang, tetapidalam bebeapa orang, maka tugas kenegaraan diserahkan kepada mereka, dan diantara mereka mesti ada yang memiliki sifat filosof, adil dan sebagainya. Manusia bersifat sosial, tak dapat hidup tersendiri, kesenangan manusia dapat dicapai hanya dalam hidup bermasyarakat dan semua bekeja sama untuk kepentingan bersama.
            Disamping al-madinah al-fadilah (المدينة الفـاضلة) ada (المدينة الجـاهلة, al-madinah al-jahilah) yang anggotanya bertujuan hanya mencari kesenangan jasmani. Kemudian dikenal pula al-madinah al-fasiqah (المدينة الفـاسقة) yang anggota-anggotanya mempunyai pengetahuan yang sama dengan anggota Madinah Fadilah tetapi kelakuan mereka sama dengan kelaluan anggota masyarakat Madinah Jahilah.
            Jiwa yang akan kekal ialah jiwa fadilah (mungkin yang hidup di Madinah Fadilah) yaitu jiwa –jiwa yang bebuat baik, jiwa –jiwa yang dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani, dan oleh karenanya jiea mereka tidak hancur dengan hancurnya badan. Adapun jiwa jahilah, jiwa yang tak mencapai kesempurnaan, (mungkin yang hidup dalam Madinah Jahilah), belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi akan hancur dengan hancurnya badan. Dan jiwa yang tahu pada kesenangan tetapi menolaknya (mungkin yang hidup dalam Madinah Fasiqah), tidak akan hancur dan akan kekal, tetapi kekal dalam kesengsaraan (  الشقـاوة ). Surga dan neraka bagi al-Farabi adalah soal spiritual.
4. Pemikiran Falsafat Ibn sina
            Abu Ali Husein Ibn Abdilah Ibn Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara pada tahun 980 M. Oran tuanya berkdeudukan sebagai pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Menurut sejarah hidup yang disusun oleh muridnya Jurjani, dari semenjak kecil Ibn Sina telah mempelajari ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, sperti fisika, matematika, kedokteran, hokum dan lain-lain. Sewaktu masih berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter, dan atas panggilan istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tuannya meninggal ia pindah ke Juzjan suatu kota dekat laut Kaspia, dan disanalah ia mulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (القـانون فى الطبThe Canon). Kemudia ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah selatan Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bagian barat Iran) mengangkat Ibn Sina menjadi mentrinya. Selanjutnya ia pindah ke Isfahan dan meninggal pada tahun 1037 M. Pemikiran-pemikiran falsafat ibnu sina adalah :
1. Falsafat Jiwa
            Pemikiran falsafat terpenting yang dihasilkan oleh Ibn Sina adalah falsafat jiwa. Seperti al-Farabi ia juga menganut faham emanasi (pancaran). Dari Tuhan memancar Akal pertama, dan dari akal Pertama memancar Akal Kedua dan Langit Pertama; demikian seterusnya sehingga mencapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari Akal Kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.
            Berbeda dengan al-Farabi Ibn Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mumkin wujudnya ji8ka ditinjau dari hakikat dirinya (واجب الوجود لغيره dan ممكن الوجود لذاته) atau (necessary by virtue of the necessary Being dan possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga objek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai waji wujudnya dan dirinya sendiri sebagai mumkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul Akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya muncul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang diriya sebagai mumkin wujudnya timbul langit-langit.
Jika manusia sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles Ibn Sina membagai jiwa ke dalam tiga bagian :
I. Jiwa tumbuh-tumbuhan (النفس النباتيـة) dengan daya-daya :
            1. Makan (الغـاذية- nutrition)
            2. Tumbuh (المنميـة - growth
            3. Berkembang biak (المولـدة - reproduction
II. Jiwa binatang (  النفس الحـيوانية ) dengan daya-daya :
1.      Gerak (  المحـركة locomotion )
2.      Menangkap ( المدركـة perception ), yang terdiri dari dua bagian yaitu :
a.       Menangkap dari luar (المدركـة من الخـارج) dengan pancaindera ;
b.      Menangkap dari dalam (المدركـة من الداخـل) dengan panca indera dari dalam, atau indera-indera batin yang meliputi :
i.                    Indera bersama (الحس المشـترك - common sense, yang berfungsi sebagai penerima dari segala apa yang ditangkap oleh indera.
ii.                  Representasi (القوة الخـيالrepresentation, yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
iii.                Imajinasi ( القوة المتخـيلةimagination), yang menyusun apa yang disimpan dalam refresentasi.
iv.                Estimasi ( القوة الوهميةestimation) yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.
v.                  Rekoleksi ( القوة الحـافظـةrecollection) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
III. Jiwa manusia ( النفس النـاطقة ) yang terdiri dari dua daya yaitu :
1.      Praktis ( العـامـلةpractical ) yang hubungannya adalah dengan badan.
2.      Teoritis ( العـالمـة- atau النظريـةtheoretical ) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak, di mana daya ini mempunyai tingkatan :
i.                    Akal materi ( العقـل الهـيولانى material intellect ) yang semata-mata mempunya potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
ii.                  Intellectus in habitu ( العـقل بالملكة ), akal yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
iii.                Akal aktuil ( العقـل بالفعـل ) yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
iv.                Akal mustafad ( العقـل المسـتفادacquired intellect ) yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal mustafad tersebut, akal serupa inilah yang mampu menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (  العقـل الفعـال).
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh kepada dirinya. Jika jiwa tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia ( النفس النـاطقـةrational soul ) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat den dekat dengan kesempurnaan.
Dalam hal ini daya praktis (القوة العـامـلة) mempunyai kedudukan penting. Daya inilah yang berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang yang terdapat dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis ( القوة العـالمـة ) untuk membawa manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan.
Selanjutnya menurut pendapat Ibnu Sina jiwa manusiamerupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tak mempuyai fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat kepada badan untuk menjalakna tugasnya sebagai daya yang berfikir, namun tetap jiwa masih berhajat kepada badan. Karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir. Pancaindera lahir dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi, dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untukmemperoleh konsep-konsep dan idea-idea dari alam sekelilingnya. Dan jika jiwa manusia ini telah mencapai kesempurnaan dengan memperoleh konsep-konsep dasar yang perlu baginya, ia tidak berhajat lagi kepada pertolongan badan, malahan badan dengan daya-daya jiwa binatang yang terdapat di dalamnya akan menjadi penghalang bagi jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan. Karena jiwa manusia merupakan satu unit tersendiri dan mempunyai wujud yang terlepas dari badan. Tetapi kedua jiwa lainnya, jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang terdapat dalam diri manusia, karena hanya memiliki fungsi-fungsi yang bersifat fisik jasmaniah, maka kedua jiwa tersebut akan mati dengan matinya badan dan tak akan hidup kembali di hari kiamat.
Adapun balasan-balasan yang ditentukan bagi kedua jiwa tersebut diwujudkan di dunia ini. Sedangkan tidak demikian halnya dengan jiwa manusia, karena bertujuan pada hal-hal abstrak, maka jiwa manusia tidak akan mendapatkan balasan yang harus diterimanya di dunia ini, tetapi kelak pada kehidupan di akhirat. Jiwa manusia berlainan dengan jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang, jiwa manusia bersifat kekal. Jika jiwa manusia telah memperoleh kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan, dan jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, karena semasa bersatu dengan badan ia selalu dipengaruhi oleh nafsu badan, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.


2. Pemikiran Ibn Sina Tentang Wahyu dan falsafat Knabian
            Seperti dapat kita lihat di atas bahwa akal mempunyai empat tingkatan, di mana yang terendah diantaranya adalah akal materil ( العقـل الـهيولانى ). Ada kalanya tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibn Sina diberi nama ( الحـدسal-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang serupa ini mempunyai daya suci ( قوة قدسـية ). Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh oleh manusia, dan terdapat hanya pada para Nabi.
3. Falsafat Wujud
            Menurut Ibn Sina sifat wujud adalah merupakan hal yang trpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun essensi ( مـاهيـةquddity ) sendiri. Esensi dalam faham Ibn Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tampa wujud esensi tidak besar artinya, oleh sebab itu menurut Ibn Sina wujud lebih penting dari pada essensi. Oleh kerena itu tidak mengherankan apabila dikatakan bahwa Ibn Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau eksitensialisme dari filosof-filosof lain.
            Selanjutnya apbaila dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi sebagai berikut :
1.      Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn Sina dengan mumtani ( ممـتنع ) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud ( ممـتنع الوجودimpossible being ). Sebagai umpama adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos yang ada.
2.      Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin ( ممـكن ), yaitu suatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud ( ممـكن الوجود contingent- being). Contohnya ialah ala mini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur tidak ada.
3.      Essensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudia berwujud. Sebagaimana halnya dengan esensi dalam katagori kedua, tetapi essensi yang mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang seupa ini disebut mesti berwujud (واجب الوجودnecessary being ) yaitu Tuhan. Wajib al-wujud inilah yang mewujudkan mumkin al-wujud. Dengan demikian Ibn Sina dengan argumen tersebut telah berupaya untuk membuktikan adanya Tuhan menurut pemahaman logika.
VI. Pemikiran Falsafat Al-Ghazali
            Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M. di Ghazaleh suatu kotakecil yang terletak di dekat tus di Khurasan. Pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar Madrasah al-Nizamiyah-Nisyapur. Di antara mata-pelajaran yang diberikan di Madrasah ini ialah : teologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Dengan perantaraan al-Juwaini al-Gahazali berkenalan dengan Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Seljuk Maliksyah. Nizam al-Mulk adalah pendiri Madrasah-madrasah al-Nizamiah. Pada tahun 1091M., al-Gahazali diangkat menjadi guru di madrasah al-Nizamiah Baghdad.
            Al-Ghazali dalam sejarah falsafat Ilsam dikenal sebagai orang yang pada mulanya syak (skeptis) terhadap segala-galanya. Perasaan syak ini kelihatannya timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam atau teologi yang diperolehnya dan al-Juwaini. Sebagaimana diketahui bahwa dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan, maka timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali : aliran manakah yang benar di antara semua aliran yang bertentangan itu ?.
            Sebagaimana dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul “Penyelamat dari Kesesatan” (المنـقذ من الضـلال ), al-Gahazali ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya, yakni kebenaran yang diyakini sebagai betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran bahwa sepuluh lebih besar dari pada tiga.
            Pada mulanya pengetahuan serupa dapat dijumpai al-Ghazali dalam hal-hal yang dapt ditangkap oleh pancaindera, tetapi kemudian baginya bahwa pancaindera juga tidak melaporkan kebenaran yang sesungguhnya, dengan demikian pancaindera tersebut berdusta. Karena tidak percaya kepada pancaindera lagi, lantas ia meletakan kepercayaannya kepada akal. Akan tetapi akal juga ternyata tak dapat dipercayai. Sewaktu bermimpi demikian menurut al-Ghazali, orang seolah melihat hal yang sebenarnya. Di mana kebenarannya diyakini berul-betul, tetapi setelah ia terjaga dan sadar, bahwa apa yang dilihatnya adalah bukan kebenaran. Tidaklah mungkin apa yang sekarang dirasakan benar menurut pendapat akal, nanti kalau kesadaran yang lebih dalam timbul akan ternyata tidak benar pula, sebagaimana orang yang telah terbangun dari tidurnya ?.
1. Kritik Terhadap Para Filosof
            Al-Ghazali kelihatannya mempelajari falsafat bertujuan untuk menyelidiki apakah pendapat yang diajukan oleh para filosof merupakan kebanaran. Baginya ternyata bahwa argumen- argument yang mereka majukan tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirya ia mengambil sikap menentang pemikiran para filosof dan falsafat dengan mengarang sebuah buku yang berjudul “Pemikiran Para Filosof” ( مقـاصد الفـلاسفـة ). Dalam buku ini al-Gahzali menjelaskan pemikiran-pemikiran falsafat, terutama menurut Ibn Sina. Kemudian iapun menyusun buku selanjutnya yang bertujuan untuk mengkritik dan menghancurkan falsafat. Buku tersebut berjudul Kerancuan Pemikiran Para Filosof  (تهـافت الفـلاسفـةThe Incoherence of Philosopher ).
            Seperti halnya dalam Ilmu Kalam, dalam falsafat juga menurut al-Ghazali banyak terdapat argument-argumen yang tidak kuat. Akhirnya dalam tasawuflah ia memperoleh apa yang dicarinya. Setelah tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan falsafat, ia lantas meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiah Baghdad pada tahun 1095 M. dan Pergi ke Damaskus untuk bertapa di salah satu menara masjid Umawi yang ada di sana. Setelah betahun-tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus pada tahun 1105 M. dan meninggal di sana pada tahun 1111 M.
            Dalam tasawuf al-Ghazali dapat menghilangkan rasa syak yang lama menggangu dirinya. Dan di dalam tasawuf pula ia memperoleh keyakinan yang dicari-carinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya, itulah yang mempuat ia memperoleh keyakinannya kembali. Di mana ia mengatakan bahwa :
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa Kasf (pembukaan tabir) bergantung kepada argument-argumen, sebenarnya ia telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas. Cahaya yang dimaksud adlah cahaya yang dipancarkan Tuhan ke dalam hati sanubari seseorang.”
            Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang enimbulkan keyakinan akan kebenaran bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa al-Ghazali tidak percaya pada falsafat, bahkan memandang para filosof sebagai pebuat bid’ah dan tersesat dalam beberapa pendapat mereka. Dalam (تهـافـة الفلاسفـة) al-Gahzali menyalahkan pendapat para filosof dan memandangkan sebagai kesesatan. Adapaun pendapat-pendapat yang dipandang sesat oleh al-Ghazali adalah sebagai berikut :
1.      Tuhan tidak mempunyai sifat.
2.      Tuhan mempunyai substansi basit (بسـيط – sederhana Quiddity).
3.      Tuhan tidak mengetahui juz’iyat ( جزئـيات – perincian / particulars.
4.      Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins, ( الجـنسjenis /genus dan al-fasl (الفصل differentia).
5.      Planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan.
6.      Jiwa Planet mengetahui semua juz’iat.
7.      Hukum alam tak dapat berubah.
8.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
9.      Alam tidak bermula.
10. Ala mini akan kekal.  
Tiga dari pendapat di atas menurut al-Ghazali membawa kepada kekufuran yaitu :
1.      Alam kekal dalam arti tak bermula.
2.      Tuhan tidak mengetahuiperincian dari apa-apa yang terjdai dalam alam.
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
Pendapat bahwa alam kekal dalam arti tieak bermula tak dapat diterima dalam teologi Islam. Karena dalam teologi Tuhan adalah pencipta. Dan yang dimaksud dengan pencipta ialah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creatio ex-nihilo). Dan apabila alam (dalam arti segala yang ada selain Tuhan) dikatakan tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta. Dan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala-galanya. Menurut al-Ghazali eidak ada orang Islam yang menganut faham bahwa ala mini tidak bermula.
2. Tiga Golongan Manusia
            Dalam pada itu al-Gahazali membagi umat manusia ke dalam tiga golongan :
  1. Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali
  2. Kaum pilihan (الخـواص elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
  3. Kaum yang suka bertengkar/pendebat (اهـل الجـدل ).
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Menurutal-Ghazali golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk ( الموعظة). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat, sedangkan kaum penengkar dengan sikap mematahkan argumen-argumen (المجـادلة). Pendapat al-Ghazali tersebut disandarkan kepada salah satu ayat al-Qur’an. Adapun pembagian manusia dalam pemikiran al-Ghazali ini adalah untuk membedakan manusia ke dalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh karena itu apa yang diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada golongan awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, dan berbeda menurut daya fikirnya masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat, sedangkan kaum khawa memperhatikan apa yang tersirat.
VII. Pemikiran Falsafat Ibn Rusyd
            Nama lengkap Ibn Rusyd ialah Abu al-Walid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Ia lahir di Cordiva pada tahun 1126 M. Ia merupakan keturunan dari keluarga hakim-hakin di Andalusia (Sapanyol Islam). Bahakn ia sendiri pernah menjadi hakin di Sevile dan beberapa kota lain di Spanyol. Selanjutnya iapun pernah menjadi dokter Istana Cordova, dan sebagai filosof dan ahli dalam hokum, Ibn rusyd mempunyai pengaruh yang besar di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Ayub Ya’qub al-Mansur (1184-1199 M). Sebagai filosof pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi oleh ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Ya’qub dan kaum Kristen, Sultan berhajat kepada sokongan kaum ulama dan fuqaha. Maka keadaannya menjadi berbalik dan Ibn Rusyd pun dengan mudah dapat disingkirkan oleh kaum ulama dan fuqaha. Ia dituduh membawa ajaran falsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, dan dengan demikian ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena ( ليشـانـة ) daerah di Cordova. Dengan timbulnya pengaruh fuqaha ini, kaum filosof mulai tak disenangi lagi dan buku-buku mereka dibakar. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun tepatnya pada tahun 1198.
            Ibn Rusyd meninggalkan karangan-karangan dalam ilmu hukum seperti “Bidayat al-Mujtahid (بدايـة المجـتهد ) dan dalam ilmu kedokteran  ( كـتاب الكلـياتKitab al-Kuliat ) selain dari karangan-karangan dalam lapangan falsafat. Dalam bidang falsafat dikenal sebagai orang yang banyak membuat ringkasan-ringkasan (تلخيض) dan komentar (شـرح  ) tentang buku-buku Aristoteles dan Claudius Galen seorang dokter yang yang terkenal di abad kedua masehi. Karaangan-karangan Ibn Rusyd tentang falsafat Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, sehingga ia dikenal sebagai komentator di dunia latin pada masa itu, disamping kemashurannya dalam bidang kedokteran. Keistimewaan Ibn Rusyd sebagai filosof dibandingkan dengan para filosof lain semisal al-Kindi, al-Farabi dan bahkan Ibn Sina adalah bahwa Ibn Rusyd selai dari filosof iapun sebagai ahli fijih (hukum).
            Apabila Ibn Rusyd di dunia barat ketika itu dikenal sebagai komentator terhadap karya-karya Aristoteles, maka di timur dan dunia Islam ia lebih dikenal sebagai seorang pemikir yang membela kaum filosof dari serangan-serangan al-Ghazali dengan kitab Tahaput al-Falasifahnya. Sehingga untuk tujuan tersebut Ibn Rusydpun menyusun buku dengan  judul Tahafut al-Tahafut. Diantara pemikiran-pemikiran penting Ibn Rusyd adalah sebagai berikut :
1. Falsafat Tidak Bertentangan Dengan Islam
            Menurut Ibn Rusyd falsafat tidaklah bertentangan dengan Islam, bahkan umat Islam diwajibkan atu sekurang-kurangnya (wajib atau sunnat). Tugas falsafat adalah tidak lain dari pada berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua ala mini. Selanjutnya Ibn Rusyd menambahkan bahwa apabila diperhatikan di dalam al-Qur’an sendiri banyak mengandung kata-kata :
            لآَياَتٍ لأُِلىِ الأَلْباَبِ . أَفَلاَ يَـتَدَبَّـرُوْنَ . أَفَلاَ يَنْـظُرُوْنَ . إِعْتَبِرُوْا . أَفَلاَ يَعْـلَمُوْنَ .
            Tanda-tanda bagi orang yang berfikir, apakah mereka tidak merenungkan, apakah mereka tidak melihat, perhatikanlah, apakah tidak mereka ketahui dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan al-Qur’an tersebut adalah merupakan untkapan kita suci Al-Qur’an yang menyeru manusia supaya berfikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Dengan demikian al-Qur’an sebenarnya menyuruh manusia  supaya berfalsafat dan mempelajari falsafat. Apabila pendapat akal dan falsafat bertentangan dengan teks wahyu, demikian menurut Ibn Rusyd, maka teks wahyu harus diberi interpretasi sedemikian rupa sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.
            Interpretasi untuk menangkap makna batin dari al-Qur’an tersebut dikenal dengan istilah ta’wil ( تأويـل  ), ayat-ayat al-Qur’an mempunyai arti-arti lahir dan batin. Arti batin ini hanya dapat diketahui oleh para filosof dan tak boleh disampaikan kepada orang-orang awam. Menurut Ibn Rusyd, ada beberapa hal yang hanya boleh diketahui hanya oleh para filosof, dan tidak boleh diteruskan kepada kaum awam. Oleh karena itu ada ulama-ulama yang tidak mau mengeluarkan pendapat mereka kepada umum tentang masalah-masalah tertentu. Dengan demikian apa yang disebut dengan (إجمـاع العـلماءconsensus ulama) dalam soal-soal tertentu tidak diperoleh. Oleh karena itu al-Gahazali, kata Ibn Rusyd, tak mempunyai pegangan untuk menuduh kaum filosof menjadi kafir atas alasan ijma ulama.
            Selanjutnya Ibn Rusyd mengatakan bahwa tiap muslim mesti percaya pada tiga dasar keagamaan yaitu : adanya Tuhan, adanya rasul dan adanya pembangkitan. Hannya orang yang tidak percaya kepada salah satu dari ketiga dasar inilah yang boleh disebut sebagai kafir. Dalam mengkritik al-Gahazali, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam semua yang terdapat dalam alam ini berlaku menurut hukum alam, yaitu hokum sebab musabab atau causality. Di mana al-Ghazali tidak percaya pada adanya hubungan kausalitas antara sebab dan musabab. Api membakar bukan karena api mempunyai sifat membakar, tetapi karena kehendak mutlak Tuhan supaya api dapat membakar. Apabila Tuhan tidak menghendaki supaya api membakar, maka api tidak akan membakar. Bagi al-Ghazali api biasanya membakar, namun tidak selamanya membakar. Tetapi dalam pandangan Ibn Rusyd sebaliknya, segala-gala yang terdapat di ala mini berlaku menurut hukum sebab musabab. Apabila api sifatnya membakar, maka api selama-lamanya membakar dan bukan hanya terkadang. Kalau ada kalanya api kelihatannya tidak membakar, maka pasti ada sebab lain yang menghalanginya, sehingga api tidak membakar.
2. Pembelaan Terhadap Para Filosof
            Seperti telah disebutkan di atas bahwa sebagai seorang teolog al-Ghazali menyerang tiga pemikiran para filosof dan menganggap pemikiran mereka telah menyimpang dari ajaran Islam, dengan demikian dalam pandangan al-Ghazali, bahwa para filosof telah terjebak dalam kekafiran. Adapun tiga pemikiran filosof yang ditentang oleh para teolog tidak terkesuali al-Ghazali adalah berkaitan dengan ;
  1. Alam bersifat kekal
  2. Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat juz’iyat (perincian) di ala mini
  3. Tidak ada kebangkitan jasmani
Mengenai soal pertama kaum teolog berpendapat bahwa “alam dijadikan Tuhan” dalam arti “dijadikan dari ketiadaan” (creation ex nihilo- الايجـاد من العـدم ). Pendapat kaum teolog ini menutur Ibn Rusyd, tidak mempunyaidasar syariat yang kuat. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain diri-Nya, dan kemudian barulah menjadikan alam. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan interpretasi dati kaum teolog.
            Bahkan Ibn Rusyd selanjutnya menyatakan, bahwa alam dijadikan Tuhan bukanlah dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada, seperti diungkapkan dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut :
            وهو الذي خلق السموات والارض فى ستـة ايـام وكان عـرشه على المـاء ليبلوكم ايّـكم أحـسن
            عمـلا .   (هـود:۷ )
            “Dan ia telah menciptakan langit-langit  dan bumi dalam enam hari dan tahta-Nya (pada waktu itu) di atas air, agar Ia uji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” ( Q.s Hud : 7)
Ayat ini menurut Ibn Rusyd mengandung pengertian bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan. Tegasnya seblum langit-langit dan bumi diciptakan telah ada air dan takhta.
            ثمّ استـوى الى السّـمآء وهي دخـان . ( حم : ١١).
            “ Kemudian Iapun naik ke langit wewaktu masih merupakan uap ( Hamim : 11).
            Ayat-ayat sebelum ini mengatakan Bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam dua hari, yang dihiasinnya dengan gunung-gunung dan diisi-Nya dengan berbagai macam makanan. Kemudia barulah Tuhan naik ke langit yang pada waktu itu masih merupakan uap. Ibn Rusyd menafsirkan ayat ini mengandung arti bahwa langit dijadikan dari sesuatu uap. Kemudian disebutkan pula dalam surat al-Anbia : 30 bahwa langit-langit dan bumi (pada mulanya) bersatu dan kemudian kami pisahkan ?, kami jadikan segala yang hidup dari air. Sehingga dari ayat-ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu di beri nama air, dan dalam ayat lain disebut uap. Uap dan air adalah berdekatan. Selanjtnya dapat dirtarik kesimpulan pula bahwa bumi dan langit dijadikan dari uapdan air, dan bukan dijadikan dari ketiadaan. Oleh karena itu, alam dalam arti unsurnya bersifat kekal dari jaman lampau (qadim).  Bahwa alam besifat kekal dalam zaman depan dapat pula disimpulkan dari teks al-Qur’an berikut ini :  
“Jangan sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi Rasul-rasulnya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan. Di hari bumi ditukan dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit ; semuanya akan datang ke hadirat Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa. (Q.s Ibrahim : 47:48. Dalan ayat ini jelas kelihatan bahwa bumi dan langit akan ditukat dengan bumi dan langit yang lain. Sesudah alam materi sekarang akan ada materi yang lain.
            Oleh karena itu Ibn Rusyd dengan berpegang kepada ayat-ayat di atas, ia berpendapat bahwa ala mini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan tersu menerus. Dengan kata lain alam adalah kekal. Dengan demikian pendapat para filosof tentang kekekalan alam tidaklah bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an; apalagi tidak ada ayat yang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa alam diadakan dari tiada.
            Selanjutnya Ibn Rusyd melihat adanya perbedaan antara kaum teolog dangan para filosof dalam mengartikan kata al-ihdas (الاحـداث – mewujudkan). Bagi kaum teolog kata al-ihdas mengandung arti mewujudkan dari tiada, sedangkan bagi para folosof kata itu mengandung arti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Demikian pula terdapat perbedaan faham diantara kedua golongan tersebut tentang apa yang dimaksud dengan qadim. Bagi kaum teolog qadim mengandung arti sesuatu yang berwujud tanpa sebab. (وهم لايفهمون من القديم الاّ مـا عـلة له). Sedangkan bagi kalangan filosof qadim tidak mesti mengandung arti hanya “sesuatu yang berwujud tanpa sebab”, tetapi boleh juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab; dengan kata lain sungguhpun ia disebabkan ia boleh bersifat qadim. Yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujud. Qadim, dengan demikian, adalah sifat bagi bagi segala sesuatu yang dalam kejadian kekal, kejadian yang terus menerus adalah kejadian yang tak bermula dan tak berakhir.
            كان قديمـا بمعنى أنّـه فى حـدوث دائم وانّه ليس لحـدوثـه اوّل ولامنـتهى.
Dalam arti inilah alam dijadikan Tuhan setidaknya dalam pemahaman para filosof, demikian Ibn Rusyd menjelaskan.
            Mengenai permasalahan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian-perincian di dalam alam, Ibn Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham; karena tiodak pernah kaum filosof mengatakan yang demikian. Yang dikatakan kaum filosof, menurut Ibn Rusyd, ialah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil bentuk effek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi terwujudnya perincian tersebut. Selanjutnya pengetahuan manusia bersifat baru dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azal Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, seungguh betapapun kecilnya.
            Sedangkan mengenai soal ketiga yaitu tentang kebangkitan jasmani tidak ada. Ibnu Rusyd menuduh al-Gahazali mengatakan hal-hal yang saling bertentangan. Di dalam Tahaput al-Falasifah, al-Ghazali menulis bahwa tidak ada orang Islam yang mengatakan bahwa pembangkitan hanya akan terjadi dalambentuk rohani. Keterangan ini menurut Ibn Rusyd, bertentangan dengan tulisan al-Ghazali sendiri dalam bukunya yang lain. Di dalam buku itu al-Ghazali menyebut bahwa pembangkitan bagi kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani. Oleh karena itu tidak terdapat ijma ulama tentang soal pembangkitan di hari kiamat. Dengan demikian kaum filosof yang berpendapat bahwa di akhirat tidak ada pembangkitan jasmani tidaklah mesti dikafirkan.
            Namun meskipun demikian, Ibn Rusyd berpendapat bahwa bagi orang awam soalpembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk rohani. Karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuik melakukan pekerjaan-pekerjaan baik dan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan jahat.


III. TASAWUF ( AJARAN ESOTERIK ) DAN MISTISISME DALAM  ISLAM
            Mistisisme dalam Islam diberi nama taswuf, kaum orientalisme Barat menyebutnya dengan istilah sufisme. Dimana kata ini dalam kalangan orinetalis Barat khusus digunakan untuk menunjuk kepada mistisisme yang terdapat dalam ajaran Islam tidak untuk agama-agama lain. Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan yang langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang mempunyai pengalaman berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, begitu pula dalam sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialaog yang inten antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan dan kontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan ini mengambil bentuk (الاتحـاد – bersatu) dengan Tuhan. Dengan demikian tasawuf merupakan ilmu pengetahuan dan sebagai pengatahuan, tasawurf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang Muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah swt.
            Dari segi bahasa dan akar kata banyak sekali teori yang menyatakan mengenai arti dari tasawuf itu sendiri, dan salah satu terminologi yang dianggap banyak diterima adalah kata bahwa kata tasawuf berasal dari  suf ( صوف ), kain wol yang dibuat dari bulu yaitu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar dan bukan wol halus seperti sekarang. Memakai wol kasar di waktu itu adalah merupakan symbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya adalah memakai sutra, oleh orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sifi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskik, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutra dan sebagaigantinya memakai wol kasar.
            Adapun mengenai pengaruh dan asal-usul mengenai munculnya ajaran tasawuf dalam ajaran Islam, banyak pula teori yang membicarakannya. Setidaknya ada lim teori yang menyatakan mengenai asal-usul tasawuf tersebut yaitu :
  1. Ajaran tasawuf muncul dalam Islam adalah karena pengaruh ajaran Kristen yang menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Sebab dalam literature Arab banyak terdapat tulisan tentang rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri di pang pasir Arabia. Mereka menempuh suatu kehidupan yang sederhana dan menjadi tempat berlindung orang-orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagipara musafir yang kelaparan. Begitupun dengan seorang jahid dan sufi Islam mereka meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah atas pengaruh para rahib Kristen tersebut.
  2. Pengaruh falsafat mistik Phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia besifat kekal dan beada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh, dan kesenangan yang sebenarnya adalah terdapat di alam samawi. Untuk memperoleh kesenangan samawi manusi harus memberrrrrsihkan roh dengan cara meninggalkanhidup materi (zuhud) untuk kemudian brkontemplasi. Ajaran Phytagoras inilah menurut sebagian kalangan yang mempengaruhi munculnya sufisme di dunia Islam.
  3. Pengaruh faham falsafat emanasi Plotinus, yang menyatakan bahwa wujud yang beragam ini memancar dari Tuhan yang Maha Satu. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Tetapi dengan masuknya kea lam materi roh menjadi kotor, dan untuk kembali ke asalnya roh terlebih dahulu harus dibersihkan. Pensucian roh bisa dilakukan dengan jalan meninggalkan dunia, dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, bahkan bersatu dengan-Nya. Demikian, sehingga faham falsafat Phytagoras ini dianggap mempunyaipengaruh terhadap munculnya kaum zahid di dunia Islam.
  4. ajaran Budha dengan faham nirwananya, di mana untuk mencapai Nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana ( الفـناء ) yang terdapat dalam ajaran sufisme hamper serupa dengan faham nirwana.
  5. Ajaran-ajaran hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.
Inilah beberapa faham dan ajaran yang menurut teorinya telah mempengaruhi timbulnya sufisme di kalangan umat Islam. Mengenai kebenaran dari teori-teori di atas, masih sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Akan tetapi bagaimanapun, dengan atau tanpa pengaruh dari luarpun, pada hakikatnya sufisme Islam tetap akan muncul dalam masyarakat Muslim.
            Di dalam al-Qur’an sendiri memang terdapat ayat-ayat yang mengatakan bahwa manusia  dekat sekali dengan Tuhan, diantaranya adalah :
            وادا سألك عـبادي فإنّى قريب أجيب دعواة الداعى إذا دعـانى . (البقرة : ١٨٦)
            ولله المشرق والمغرب فـاينما تولّوا فـثمّ وجـه الله  ( البقرة  : ١١٥)
            ولقذ خلقـنا الانسـان ونعـلم مـا توسوس به نفسـه ونحن اقـرب اليـه من حبـل الوريد ( ق : ١٦)
            فلم تقتلوهم ولكن الله قتلهم ومـا رميت إذ رميت ولكن الله رمى  (الانفـال :١٧)
            Tuhan dalam ayat-ayat diatas jelas, bahwa Tuhan mengatakan bahwa ia dekat pada manusia dan mengabulkan permintaan orang yang meminta. Olehkaum sufi kata da’a  di sini diartikan berseru, yaitu Tuhan mengabulkan seruan orang yang ingin dekat kepada-Nya.
            Selanjutnya kemana saja manusia bepaling, manusia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikian dekatnya manusia kepada Tuhan sehingga dikatakan bahwa Tuhan lebih dekat dari pada pembuluh darah yang ada di lehernya. Di dalam ayat tersebut mengandung arti bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia. Dalam ayat selanjtnya dapat diartikan bahwa Tuhan dengan manusia sebenarnya satu. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan.
            Selanjutnya bukan hanya ayat-ayat al-Qur’an saja, tetapi juga hadits-haditspun ada yang menggabarkan kedekatan manusia dengan Tuhan, seperti :
            من عرف نفسـه فقذ عرف ربّـه ( الحديث )
            كنت كنـزا مخفـيا فأخببت ان أعـرف فخلقت الخلق فبي عرفونى ( الحديث )
Hadis-hadis di atas mengandung arti bahwa manusia dengan Tuhan adalah satu. Untuk mengtahui tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Cukup ia masuk ke dalam dirinya dan mencoba mengetahui dirinya. Dengan kenal pada diriya ia akan kenal kepada Tuhan. Seba Tuhan ingin dikenal dan untuk itu tuhan menciptakan makhluk, ini mengandung arti bahwa Tuhan dengan makhluk adalah satu, karena melaluimakhluk Tuhan dikenal.
            Demikian, terlepas dari kemungkinan adanya atau tidak pengaruh dari luar, ayat-ayat hadis seperti tersebut di atas dapat membawa kepad timbulnya aliran sufisme dalam Islam. Yaitu ajaran-ajaran tentang mendekati Tuhan sedekat mungkin.
I Jalan Untuk Mendekati Tuhan
            Untuk berada dekat pada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang dan melewati stasion-stasion yang disebut maqamat ( مقـامـة ) dalam istilah Arab atau stages dalam istilah Inggris. Dalam literature tasawud tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasion-stasion ini. Sehingga rumusan dan jumlah stasion yang mesti dilewati oleh seorang sufi menjadi berbeda-beda. Namun mesikpun berbeda-beda dalam menyebutkan jumlah stasion, tetapi pada dasarnya para ahli sufi memiliki persamaan dalam rumusan mengenai stasion-stasion tersebut. Diantara berbagai rumusan dan jumlah stasion yang dikemukakan oleh para ahli sufi tersebut adalah :
( التوبة- الصبر- الفقر- الزهـد- التوكل- المحـبة – المـعرفة – الرضـا )
Selanjutnya di atas stasion-stasion ini ada lagi yaitu : cinta – ma’rifat – fana – baka – dan persatuan yang dalam literature Arab masing-masing dikenal dengan :
            ( المحبة – المعرفة – الفـناء – البـقاء – الاتحـاد )
Adapun ( الاتحـاد  - persatuan ) dapat mengambil bentuk al-hulul ( الحـلول ) atau wahdat al-wujud ( وحـدة الوجود ).
            Di samping istilah maqam, terdapat pula pula istilah hal ( حـال ). Hala adalah merupakan keadaan mental seorang sufi ketika berada dekat dengan Tuhan. Perasaan tersebut seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Adapau hal yang biasa disebut untuk melukiskan keadaan mental seorang yang telah dekat dengan Tuhan dalam literature sufi adalah : Takut- rendah hati – patuh – ikhlas – rasa berteman – gembira hati – syukur ( الخوف- التواضع- التقوى- الاخـلاص- الانس-الوجد الشكـر ). Hal berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi; datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanan mendekati Tuhan.
            Jalan yang harus ditempuh dan dilalui oleh seorang sufi tidaklah mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari satu stasion ke stasion lain, itu menghendaki usaha yang berat dan harus ditempuh dalam waktu yang tidak singkat. Bahkan terkjadang seorang calon sufi harus bertahun-tahun tinggal dalam satu stasion.
2. Makan Zuhd dan Stasion-Stasion lainnya
a. Al-Zuhd  ( الزهـد )
            Zuhd adalah merupakan stasion yang terpenting bagi seorang calon sufi. Di mana Zuhd ini merupakan keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia bisa meningkat menjadi sufi. Dengan demikian sufi adalah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid sekaligus sebagai seorang sufi.
b. Taubat ( التوبـة ).
            Tobat yang dimaksud kan oleh sufi ialah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Terkadang tobat itu tak dapat dicapai dengan sekali saja. Ada diceriterakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali tobat, baru ia mencapai tingkat tobat yang sebenarnya. Tobat yang sebenarnya dalam fahamsufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang tobat kata al-Hujwiri adalah orang yang cinta kepada Allah. Orang yang cinta kepada Allah senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
c. Wara ( الورع )
            Kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik dan dalam pengertian sufi wara adalah meninggalkan segala yang dalamnya terdapat subhat ( شبهـت – keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Ceritera-ceritera tentang sufi mau makan kalau ia ragu-ragu tentang keadaan makanan yang disajikan baginya; apakan itu diperoleh dengan jalan halal, seperti dapat kita lihat dalam literatur tasawuf mengenai al-Muhasibi misalnya, ia selalu menolak makanan yang di dalamnya terdpat subhat. Tangan Bishr al-Hafi, tiap ada makanan yang di dalamnya terdapat subhat tak dapat diulurkan untuk mengambil makanan.
d. Kefakiran ( الفـقر )
            Tidak meminta lebih dari pada apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki, kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Serta tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, namun apabila diberi harus diterima. Tidak meminta tetapi juga tidak menolak.
e. Sabar ( الصـبر )
            Sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangannya, dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Menunggu datangnya pertolongan dari Tuhan. Serta sabar menderita kesabaran. Tidak menunggu datangnya pertolongan.
f. Tawakal ( التوكل )
            Tawakal adalah menyerah kepada qada dan putusan Allah. Selamanya berada dalam keadaan tentrram, jika mendapakan pemberian berterima kasih, jika tak mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada hari ini. Tidak mau makan karena ada yang lebih berhajat kepada makanan dari padanya. Percaya kepada janjiAllah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dank arena Allah bersikap sebagai telah mati.
g. Kerelaan ( الرضـا )
            Tidak berusaha. Tidak menentang qada dan qadar dengan hati senang. Menerima qada dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima ni’mat. Tidak meminta surga dar Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya qada dan qadar, tidak measa pahit dan sakit sesudah turunnya qada dan qadar, malahan perasaan cinta bergelora ( هيجـان الحـب ) diwaktu turunnya bala ( percobaan-percobaan).