Selasa, 20 Maret 2012

CINTA TUHAN DI SURYALAYA TAREKAT QODIRIYAH-NAQSYABANDIYAH





I. Pengertian Tarekat
Tarekat, berasal dari kata Arab thariqah, secara harfiah berarti jalan. Yang dimaksud ialah jalan terbuka menuju Tuhan, atau dengan kata lain sebagai ( the fath, the way ) yang ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.1 Seorang sufi digambarkan seperti seorang pengembara ( salik, man salaka thariqan ) yang harus menempuh perjalanan panjang dan penuh dengan berbagai kesulitan. Ia harus melewati berbagai keadaan atau tingkatan rohani yang dalam diskursus taswawuf dikenal dengan sebutan maqamat wa ahwal seperti taubat, zuhud, sabar, tawakal, ridha,dan mahabbah (cinta kepada Tuhan), sebelum akhirnya ia memperoleh pengalaman rohani ma’rifah  (mengetahui Tuhan dengan hati sanubari ), dan bersatu dengan Tuhan. Pengalaman rohani ma’rifah dan persatuan dengan Tuhan sebagaimana dimaksud oleh para sufi, adalah keadaan dekat dengan Tuhan dalam arti yang sebenarnya.2
Syekh Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tarekat sebagai  :
الطريقة هي العمل بالشريعة والأخد بعزائمـها والبعد عن التسهل فيما لا ينبغى التسهل فيه
“Tarekat adalah pengalaman syariat dan melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan ketekunan, serta menjauhkan diri dari sikap mempermudah terhadap apa-apa yang memang tidak boleh dipermudah.” 3
            Selanjutnya tarekat juga difinisikan sebagai :
            الطريقة هي اجتناب المنهيات ظاهرا وباطنا وامتثال الأوامر الإلهية بقدر الطاقة
            Tarekat adalah menjauhi larangan-larangan baik yang dzahir maupun bathin dan menjunjung tinggi perintah-perintah Tuhan menurut kadar kemampuan.
            Sedangkan menurut Ibn Arabi yang dimaksud dengan tarekat adalah :
          الطريقة هي اجتناب المحرمات والمكروهات وفضول المباحات واداء الفرائض وما استطاع من
          النوافل تحت رعاية عارف من اهل التهيات
            “Tarekat adalah menghindari yang haram dan makruh serta berlebih-lebihan dalam hal mubah, melaksanakan hal-hal yang diwajibkan serta hal-hal yang sunnat sebatas kemampuan di bawah bimbingan seorang yang arif dari ahli nihayah.4
            Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat bahwa tarekat berhubungan dengan dua hal yaitu ; pertama berkaitan dengan amalan-amalan atau latihan-latihan kerohanian melalui cara-cara tertentu untuk dapat dekat dengan Tuhan. Dan kedua, adalah berkaitan dengan cara-cara yang ditempuh tersebut berasal dari bimbingan seorang syekh yang arif yang lambat laum membentuk ordo, lembaga atau organisasi (terekat) yang mempunyai Syekh, ritual dan bentuk-bentuk dzikir tertentu. Sehingga tarekat yang pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Tuhan dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi soerang syekh. Lama kelamaan seiring dengan berjalannya waktu kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan khusus yang berlaku dalam kelembagaannya. Dengan kata lain, tarekat adalah tasawuf yang melembaga. Kalau diilustrasikan mengenai hubungan antara tasawuf dan tarekat, dapat kita nyatakan bahwa apabila tasawuf diibaratkan sebagai upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka tarekat adalah merupakan cara atau jalan yang ditempuh oleh sesorang hamba dalam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Demikianlah kiranya hubungan antara tasawuf dengan tarekat.5
Istilah thariqah sering dikaitkan dengan dua istilah lainnya, yaitu syar’iah, dan haqiqah. Baik syari’ah  maupun thariqah, keduanya berarti jalan. Yang dimaksud dengan syari’ah ialah jalan utama yang berisi peraturan-peraturan keagamaan yang bersifat umum. Sedangkan thariqah ialah jalan yang lebih sempit yang terdapat dalam jalan utama ( syari’ah ). Thariqah mengandung peraturan-peraturan yang lebih khusus, yang diperuntukan bagi mereka yang ingin mencapai tingkat keagamaan yang lebih tinggi. Sedangkan haqiqah berarti kebenaran, yang dimaksud ialah Tuhan, atau pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, yang ingin dicapai melalui syari’ah dan thariqah. Menurut satu teori , syari’ah digambarkan sebagai lingkaran, sedangkan thariqah adalah jari-jari yang terdapat dalam setiap lingkaran. Setiap jari-jari yang terdapat dalam lingkaran tersebut ditarik menuju kepada suatu titik, yaitu haqiqah yang berfungsi sebagai pusat lingkaran.6 Gambaran tersebut memberikan gambaran bahwa jalan yang ditempuh oleh seorang sufi ialah jalan untuk mencapai haqiqah melalui pengamalan syari’ah dan thariqah.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah thariqah, dalam bahasa Indonesia lazim disebut tarekat, yang dipergunakan untuk merujuk kepada sebuah lembaga,  perkumpulan atau organisasi pengamal tasawuf ( sufi orders, sufi organizations ) yang didirikan oleh para murid sufi untuk meneruskan metode tasawuf yang dikembangkan oleh guru sufi (mu’asis).  Unsur utama dalam organisasi sufi ( tarekat ) adalah ialah, pertama, ialah adanya Syaikh dan Murid, seorang Syaikh memberikan bimbingan kepada Murid tentang jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menempuh tahapan-tahapan seperti yang telah disebutkan di atas. Kedua, setiap tarekat mengajarkan peningkatan iman, akhlak, dan ibadat kepada Tuhan atas dasar tuntunan al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ketiga, setiap tarekat mengajarkan formula tertentu ( awrad ) untuk mencapai pengalaman rohani dekat dengan Tuhan. Pada umumnya cara tersebut terdiri dari dzikr atau wirid-wirid yang dibaca secara istiqamah pada waktu-waktu tertentu.
Pada mulanya bentuk tarekat bersifat sederhana. Hanya terdiri dari sekelompok murid berkumpul pada seorang Syaikh ( Murad ) untuk menjalankan berbagai latihan atas dasar kerja sama atau persahabatan ( li al-shuhbah wa dars wa riwayah ) tanpa adanya suatu ikatan tertentu yang bersifat mengikat. Namun dalam perkembangan selanjutnya timbul berbagai aturan yang kompleks dalam organisasi tarekat, seperti bay’at atau talkin, berbagai bentuk perjanjian, khirqah ( pakaian khusus ), sislisah, sanad dan sebagainya.


II. Selayang Pandang Mengenai Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah    

            Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah adalah merupakan tarekat yang menggabungkan prinsip-prinsip ajaran tarikat Qodiriyah, sebuah tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani (wafat 561 H/1166 M di Baghdad). Dan Tarekat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Syaikh Baha al-Din Naksyabandi dari Turkistan, wafat 1399 M di Bukhara. Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah merupakan dua buah tarekat yang dipenghujung abad ke XX banyak diamalkan oleh kaum muslimin di Turki, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia. Keduanya adalah merupakan tarekat yang mu’tabarah, yakni tarekat yang diakui kebenarannya bersumber kepada al-Qur’an dan Hadits Nabi.7 Pada perkembangan selanjutnya, di Indonesia salah satu pesantren yang menjadi pusat pengembangan tarikat Qadiriyah-Naqsabandiyah adalah Pesantren Suryalaya, yang berarti tempat matahari terbit. Sebuah Pesantren di kampung Godebag, Tasik Malaya Jawa Barat, yang sampai saat ini telah genap berusia 100 tahun.8
Pesantren yang didirikan oleh Syeikh Abdulah Mubarok bin Nur Muhammad, bergelar abah sepuh hingga masa Abah Anom panggilan akrab K.H.A. Shahibul Wafa Tajul Arifin sesepuh pesantren sejak tahun 1956 sampai sekaran memang lebih banyak diarahkan menjadi pusat pengembangan tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah. Amalan utama dari tarekat ini adalah dikrullah ; yaitu dzikir kepada Allah dengan dengan mengucapkan la ilaha illallah, selesai sembahyang wajib sekurang-kurangnya 165 kali. Namun di luar waktu sembahyang wajibpun tidak dilarang mengamalkan dzikir ini, bahkan dianjurkan, terutama bagi mereka yang sedang mabuk, atau hilang ingatan karena kecanduan narkotika. Dzikir yang diajarkan dalam tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah adalah dikr jahar, yakni dzikir yang diucapkan dengan suara yang keras, sedangkan dikr yang lainnya adalah dikr khafi, yaitu dzikir yang tidak diucapkan dengan bunyi suara yang keras, tetapi cukup diingat dalam hati saja.
Tarekat dzikir yang pertama (dikr jahar) lazim disebut tarekat Qadiriyah, sedangkan tarekat dikr yang kedua (dikr khafi) terkenal dengan nama tarekat Naqsabandiyah. Ajaran tarekat yang pertama dinisbahkan kepada seorang Mursyid yang terkenal pada abad ke 12 Masehi Syeik Adb al-Qadir al-Jailaini yang berada pada urutan nomor sembilan belas  dalam silsilah tarekat Qadiriyah setelah Imam Musa al-Kadzim, Ja’far Shadiq, Muhammad al-Baqir, Zainal Abidin, Husein bin Ali, dan Ali Ibn Abi Thalib.9 Sementara yang menduduki peringkat paling tinggi dalam silsilah tersebut adalah Rasulullah saw sendiri. Nama-nama mursyid tersebut hampir semuanya berasal dari kalangan ahl-albait.
Sebenarnya bukan Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani yang memberi nama tarekat dzikir ini dengan namanya sendiri, tetapi dari seorang murid beliau yang paling dekat, bahkan kemudian menjadi mursyid tarekat ini, yaitu syeik Abd al-Aziz, mursyid tarekat yang ke dua puluh.
Nama tarekat tersebut nampaknya tidak terlalu dipersoalkan oleh pihak Pondok Pesantren suryalaya. Yang dipentingkan adalah pengamalan yang konsisten. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa tarekat dikr ini sejak masa Syeikh Abd al-Aziz sampai masa K.H Sohibul Wafa Tajul Arifin, yang merupakan mursyid yang ke tiga puluh tujuh, tidak akan diganti dengan nama lain. Nama Qadiriyah akan terus diabadikan, sebagai penghormatan murid-murid tarekat ini kepada Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani, seorang ulama tasawuf yang mendapat gelar sulthan al-awliya, raja kekasih Allah.
Adapun dikr al-khafi mengacu kepada pengamalan tarekat Naqsabandiyah, yaitu sebuah tarekat dzikr yang dinisbahkan kepada Syeik Muhammad Baha al-Din Naqsabandi al-Uwaisi-al-Bukhari di Bukhara, bekas wilayah Uni Sovyet.10
Di Pesantren Suryalaya kedua tarekat ini dipadukan secara harmonis menjadi suatu amalan yang serasi, yaitu pengamalan dikr jahar, sebagai perwujudan amalan Tarekat Qadiriyah, dan pengamalan dikr khafi sebagai realisasi amalan Tarekat Naqsabandiyah. Tujuan pengalaman kedua Tarekat ini tercakup dalam sebaris do’a yang selalu diucapkan oleh ikhwan ( anggota persaudaraan tarekat ) Suryalaya, yang berbunyi :
            إلهي انت مقصودي ورضاك مطلوبي اعطني محبّتك ومعرفتك
Ilahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi a’thini mahabataka wa ma’rifataka ( Ya Tuhanku ! Engkaulah yang aku maksud, Keridhaan-Mu lah yang aku cari, berilah aku kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan ma’rifat kepada-Mu ).
Menurut Abah Anom do;a tersebut mengandug tujuan taqaruban ila Allah, yakni mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan ubudiyah, sehingga tidak ada satupun yang menjadi tirai penghalang antara seorang abid (hamba) dengan ma’bud, atau antara khalik dan makhluq. Maksud selanjutnya, menuju jalan mardhatillah, yakni jalan yang diridhai Allah dalam melakukan ibadah. Semua itu demi cinta kepada Allah, cinta dalam pancaran ma’rifah kepada Allah.
Apabila cinta kepada Tuhan sudah tumbuh, maka timbulah berbagai hikmah, diantaranya membiasakan diri dalam beribadah lahir bathin, dan mewujudkan keadilan, yakni menempatkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan haknya. Kecuali itu, pancaran cahaya mahabah ini akan melahirkan kasih saying kepada sesama makhluk Tuhan, termasuk cinta kepada nusa dan bangsa.
Tujuan yang ingin dicapai oleh Tarekat Suryalaya ini pada dasarnya adalah tidak berbeda dengan apa yang ingin dicapai oleh para sufi besar seperti Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu meraih cinta Tuhan, atau Zunun al-Mishri dengan cita-citanya mencapai ma’rifat Yang Maha Benar. Meskipun pada praktiknya para sufi besar seperti yang telah disebutkan tersebut, oleh para penulis modern, baik dari kalangan muslim maupun non muslim, sering digambarkan sebagai makhluk anti sosial, berpaling dari dunia. Di mana hidup mereka sangat sederhana, dan semata-mata kehidupannya hanya diabdikan untuk kepentingan hidup keakhiratan.
III. Tarekat Suryalaya dan Tasawuf Modern
 Tarekat Suryalaya, kecuali dibangun dibangun di atas prinsip-prinsip syariat yang kokoh, juga mempunyai kiat sendiri untuk mengubah citra tasawuf yang bersifat negatif, yang terkesan jumud dan berpaling dari dunia. Kesan modern dengan demikian menjadi kuat, bukan saja pada keadaan fisik pesantren Suryalaya yang memiliki lembaga pendidikan dari tingkat TK sampai perguruna tinggi, pusat latihan keterampilan, puskesmas, koperasi, samapai pada peternakan sapid an proyek pengumpulan bibit tanaman langka, tetapi juga penampilan para guru tarikat yang tidak lagi terbenam dibalik jubah, surban, biji tasbih, dan tafsiran-tafsiran tasawuf yang dikotomis.
Misalnya mengenai bebarapa isitilah tasawuf, seperti zuhud, cinta dan lain-lain. Abah Anom nampaknya dapat digolongkan kepada ulama tasawuf yang ingin melakukan pemurnian ajaran tersebut dari penafsiran yang menyimpang dari semangat al-Qur’an, yaitu penafsiran yang mengakibatkan kehidupan umat menjadi dikotomis antara dunia dan akhirat, dan diantara nilai-nilai rohaniah dan nilai-nilai kebendaan. Pemahaman ajaran tasawuf dalam tarekat Suryalaya secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut ; kejarlah dunia sebanyak-banyaknya, kejarlah harta sebanyak-banyaknya, pangkat setinggi-tingginya, tetapi hendaknya semua itu tidak membuat engkau lengah dari berdikr kepada Allah. Bahkan mengejar kepentingan dunia itu harus dalam kerangka ibadah kepada Allah.
Pandangan Abah Anom tentang cinta dapat dilihat dalam penjelasannya mengenai orang-orang beriman yang sangat mencintai Allah ;
( tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! 3 
Yang artinya “orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah.”11 Ayat ini menurutnya tidak mengandung pengertian meniadakan cinta kepada makhluk. Tetapi cinta itu harus terarah hingga sampai kepada Sang Khaliq. Cinta kepada yang lain itu harus selalu berada di bawah naungan cinta kepada Allah Sang Maha Pencipta. Seseorang yang sudah dikaruniai Allah swt rasa mahabbah kepada-Nya, tentu juga akan mencintai dan menyayangi ciptaan-Nya, antara lain cinta tanah air, sehingga segala keadaannya menjadi terpelihara, teratur, tertib dan rapi sebagai mana tujuan dari penciptaan itu sendiri. Sebaliknya belum tentu seseorang yang mencurahkan rasa cintanya kepada makhluk semata-mata akan bisa sampai pada tahap cinta kepada Allah “Sang Khaliq”.
Sesungguhnya mahabbah kepada Allah swt. Merupakan jembatan emas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu orang-orang mukmin yang mutaqin senantiasa akan terus berupaya untuk meningkatkan rasa cinta kepada Allah dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah dalan surat Ali Imran ayat 64 “ Bagi mereka—orang-orang yang beriman—segala kebahagiaan dalam penghidupan dunia dan kahirat.”
Dari sela-sela kehidupan dan pandangan guru tarekat di abad informasi sekarang ini, kita tidak akan merasa heran apabila Suryalaya kini telah benar-benar menjadi tempat terbit matahari tasawuf, yang dapat menyinari dan menghangatkan kalbu manusia modern yang merindukan kehangatan batin dan ketentraman kalbu yang membeku akibat dinginnya modernitas dari entitas-entitas spiritual melalui percikan-percikan dzikr kepada Allah, al-Khalik Yang Maha Lembut.
IV. Metode Suluk dan Talqin : Institusi Dikr Tarekat Suryalaya
            Ibadah yang menjadi ciri penganut suatu tarekat ialah dikr, secara harfiah, berarti mengingat Tuhan. Dikr dapat dilakukan dengan diam atau bersuara, keduanya mempunyai dasar dalam al-Quran. Menurut sebagaian kaum sufi, dzikr keras dianggap sebagai suatu cara untuk membawa kepada ekstase. Pengulangan kata “Allah” atau la Ilaha Illa Allah” yang diucapkan secara berirama dan diikuti gerakan tertentu, dapat menyebabkan keadaan trance. Terdapat berbagai aturan tentang cara berdzikir : jahri, khafi ; dalam pembagian yang lebih rumit : dzikr al-lisan, al-nafs, al-qalb, al-ruh al-sir, al-khafi, akhfa-al-khafi. Dzikir yang telah berkembang biasanya dihubungkan dengan suatu cara pengaturan nafas. Tradisi Naqsabandi mengajarkan dzikir lima lathaif. Sejak abad ke 9 tasbih atau subhah, berbatu tiga puluh tiga, atau sembilan puluh sembilan, digunakan untuk menghitung formula dzikr, akan tetapi sebagian sufi menganggap sarana ini sebagai permainan yang kadang melalaikan.12
            Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan dikr dalam tarekat Suryalaya adalah sebagai berikut ; bagi tamu yang ingin belajar dzikir, akan dipersilahkan mengikuti prosesi yang disebut talqin dikr yang dipimpin oleh guru mursyid, atau oleh para wakilnya yang disebut wakil talqin. Talqin itu sendiri secara tekstual kebahasaan berarti nasihat atau wejangan. Namun yang dimaksud di sini adalah sebuah proses menghidupkan kalbu yang lupa kepada Allah dengan menanamkan dzikir khafi di dalamnya, sehingga setelah talqin ini diharapkan akan senantiasa ingat kepada Allah.
            Selain itu, mereka dibimbing juga untuk melakukan dzikir jahar yang benar menurut tata tertib telah dibakukan oleh para ahli tasawuf, yaitu mengucapkan la yang dimulai dari pusat, kemudian di tarik sampai ke ubun-ubun. Mengucapkan illaha ke bawah dada sebelah kanan dan illa Allah ke bawah dada sebelah kiri, hingga kalimah thayibah tersebut terasa secara mantap, dan menembus lubuk kalbu yang paling dalam. Taqin ini dibuka dan ditutup dengan nasihat yang menyentuh dan menyadarkan manusia akan kelalaiannya terhadap Allah, dengan senantiasa melakukan pelbagai dosa yang membuat hati semakin hitam pekat, kondisi batin yang kelam, gelap dengan noda-noda maksiat yang senantiasa kita lakukan, akibat diri kita sepenuhnya dikendalikan oleh setan. Karena itu pada saat di talqin, tidak sedikit calon ikhwan Suryalaya yang mencucurkan air mata karena menyesali perbuatannya,dan bertekad kembali ke jalan Allah dengan sepenuh hati. Apabila yang ditalqin seorang abangan, maka sebenarnya dengan talqin ini—atau lebihjauhnya lagi tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah Suryalaya telah mengislamkan mereka secara sempurna. Tidak saja secara formal, tetapi juga lubuk hatinya yang paling dalam. Tamu pesantren Suryalaya yang tergolong jenis ini jumlahnya tidak sedikit, bahkan terus meningkat.
            Kegiatan talqin ini juga disebut baiat, yakni janji setia seorang murid kepada guru bahwa, yang dibaiat itu benar-benar bersedia mengamalkan ajaran tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah dengan sungguh-sungguh. Amal itu tidak lain mengucapkan dzikir jahar setiap selesai sembahyang wajib sekurang-kurangnya 165 kali, dan dzikir atau mengingat kepada Allah swt. kapan dan di mana saja sepanjang hari dangan memantapkan dzikr khafi.
            Tidak sedikit tamu yang semula sekedar ingin tahu, atau ingin menyembuhkan putra-putrinya dari kecanduan narkoba, dan para dosen yang hanya datang untuk memberikan kuliah pada Institut Agama Islam Latifah Mubarakiyah ( IAILM ), sebuah perguruan tinggi Islam di lingkungan Pesantren Suryalaya, akhirnya tertarik untuk engikuti talqin dzikir, bahkan menjadi pengamal tarekat ini secara intens dan serius. Sebagaimana hal ini terjadi pada seorang guru besar Filsafat dan Pemikiran Islam al-marhum Prof. Dr. Harun Nasution. Pada mulanya beliau datang untuk memberikan kuliah umum di perguruan tinggi  IAILM, namun akhirnya mengikuti talqin dzikr, bahkan menjadi ketua tim penuslisan buku 85 tahun Pesantren Suryalaya, Thariqah Qodiriyah-Naqsyabandiyah. Wa Allah a’lam bi al-shawab.
V. Penutup
            Demikian, uaian singkat mengenai tarekat qadiriyah naqsabandiyah di suryalaya (tempat matahari terbit), di mana di pondok pesantren tersebut telah dikembangkan ajaran dua tarekat besar tasawuf sunni yang mu’tabarah yakni ajaran tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsabandiyah. Sebagai lembaga yang mengajarkan ajaran tasawuf tarekat Suryalaya telah banyak berkiprah dalam dunia pendidikan dengan titik tekannya adalah peningkatan pengalaman spiritual melalui amalan terakat yang dikembangkannya. Namun sebetulnya masih ada keunikan yang lain dari terekat Suryalaya ini, yaitu pondok Inabah. Sebuah panti rehabilitasi penyembuhan bagi para penderita gangguan kejiwaan akibat kecanduan narkotika dengan metode dikr. Melalui dzikr tersebut mereka diharapkan dapat sembuh dan kembali lagi ke lingkungan masyarakat, dan dapat berbuat sesuatu yang positif bagi masyarakat.
            Namun lebih dari itu metode dzikr yang diajarkan dalam pondok Inabah sebenarnya ditujukan untuk memberikan insight tasawuf, sehingga seseorang bisa selalu dipenuhi dengan asma Allah. Melalui dzikr yang terus menerus dilakukan setiap hari, sesorang dapat mencapai apa yang disebut oleh Carl gustav Jung sebagai arkeif ketidaksadaran yang paling dalam, yaitu Allah. Dalam kesadaran inilah seorang inabah mampu melakukan transformasi jiwa kea rah perkembangan spiritual yang matang.
            Dengan demikian apabila inti agama berpusat pada persoalan mengenai tuhan dan kekuatan adikodrati-Nya, maka agama adalah sebuah frame of reference, yang memberikan kerangka orientasi dan objek pengabdian. Oleh karena itu kita melihat bahwa tasawuf di Suryalaya bagi Inabah adalah suatu kerangka orientasi dan allah itu sendiri sebagai yang diabdi. Kerangka orientasi tasawuf itu adalah suatu cara hidup, di mana soerang Inabah ingin dipenuhi dengan kualitas-kualitas Ilahiyah. Pemenuhan kualitas itu dilakuka melalui dzikir (baik itu dzikir yang jahar maupun khafi). Dzikir yang jahar sangat penting bagi orang yang merasakan banyak dosa dan noda (misalnya mereka yang mengalami kecanduan narkoba), terutama untuk penyakit yang tidak terasa yang ada dalam hati, sebagaimana firman Allah di dalam al-Qur’an ;
            Dan orang-orang yang apabila mereka mengerjakan kejahatan atau menganiaya diri sendiri, mereka dzikir kepada Allah, maka mereka mendapat ampunan dari segala dosanya. Dan memang tidak ada yang akan mengampuni segala dosa itu selain Allah.Dan mereka tidak akan menruskan perbuatan jahat itu lagi. Sedang mereka mengetahui.13
            Dalam dzikir, seorang Inabah seorang inabah hanya memikirkan Allah. Di sinilah seorang Inabah mengalami meditasi (al-tafakur), yaitu suatu ketidaktahuan yang bijaksana. Dalam meditasi itu hakikat tuhan tidak menjadi objek pemikiran (seperti pada filsafat), tetapi suatu yang dialami, sesuatu yang menurut istilah tasawuf dirasakan aromanya. Dzikir menciptakan pengalaman keberagamaan yang akan turut serta dalam penyembuhan ketergantungan narkoba.












  













           



* Makalah ini disampaikan dalam acara Seminar Kelas mata kuliah Tasawuf dan Tarekat pada Program Pasca sarjana Program Studi Aqidah dan Pemikiran Islam Semester III Tahun Ajaran 2006-2007 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
                1 Untuk lebih jelas lihat misalnya uraian, A Wahid Mu’thi, “Tarekat : Sejarah Timbulnya, macam-macam dan Ajarannya”, dalam Diktat Kursus Tasawuf, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, hlm. 85-92 
                2 Tharik adalah merupakan jalan yang lebih sempit dan lebih sulit untuk dijalani seorang salik dalam upaya pengembaraan spiritualnya dalam mengarungi berbagai persinggahan (maqam), sebelum akhirnya ia secara cepat atau lambat dapat mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; yaitu pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu. Annemarie Schimmel, Mistical Dimension of Islam, University of Nort Carolina Press, Chapel Hill USA, 1975.
                3 Lihat Abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafah al-Shufiyah fi al Islam, (Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, tt.). h. 495-496
                4 Ibn Arabi, Futuhat Makiyah, (Beirut : Dar al-Shadr, tt) jilid II, hlm. 604
                5 Tasawuf dapat dimaknai sebagai sebuah upaya pengembagan dan pembebasan kerohanian dalam bentuk-bentuk pengalaman spiritual dengan tujuan mencapai hubungan yang begitu dekat dengan Tuhan, sedangkan terekat adalah lembaga-lembaga yang mengajarkan tata cara dan jalan yang harus ditempuh bagi seorang salik (pengembara spiritual) dengan ajaran dan metode-metode khusus yang telah teruji yang diajarkan oleh muasis (pendiri tarekat), syekh (muryid), dan guru-guru tarekat yang memiliki otoritas dalam bidang spiritualime (jalan-jalan tasawuf) untuk mendekati Tuhan. Lihat H.M Jamil, Cakrawala Tasawuf : Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, Jakarta, Gaung Persada Press, 2004, hlm. 122
                6 A. Wahid Mu’thi, Tasawuf, Op.cit, hlm. 86
                7 Istilah Thariqah al-Mu’tabarah adalah sebuah istilah untuk membatasi dan menjaga agar sebuah tarekat tersebut dianggap benar dan tidak menyimpang dari ajaran syariat Islam. Di Indonesia istilah Thariqah al-Mu’tabarah ini biasanya diidentikan dengan NU (Nahdatu al-Ulama) sebagai lembaga sosial keagamaan yang berhaluan tradisional namun sangat berpengaruh di Indonesia. Sebagai lembaga sosial keagamaan yang berhaluan tradisional NU disampaing mengurusi masalah-masalah sosial, pendidikan, kepesantrenan juga mengurusi tentang pemahaman keagamaan khsusunya dalam bidang tasawuf dan Tarekat dengan mendirikan lembaga yang dinamakan dengan “Jam’iyah ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdiyah pada 10 Oktober 1957. Tujuan berdirinya lembaga ini adalah untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan yang tak terkendali dalam pengembangan tarekat di Indonesia. Oleh karena itu istilah mu’tabarah untuk tarekat-terekat di Indonesia harus sesuai dengan ketetapan-ketetapan yang ditetapkan oleh lembaga tersebut, yaitu tarekat yang sanadnya mutasil kepada Rasulullah SAW, beliau menerimanya dari malaikat Jibril AS, dan malaikat Jibril AS dari Allah SWT. Lihat Hasil-hasil Muktamar ke IX Jam’iyah ahl-al-Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, di Pekalongan yang berlangsung pada 26-28 Pebruari 2000, Pekalongan, Sekretariat Muktamat ke IX, 2000, hlm. 222
                8 Budi Munawar Rahman, Tarekat Wadiriyah Naqsabandiyah di Suryalaya, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, no. 8 vol. II, Jakarta, LSAF, 1991, hlm. 100-105  
                9 Lihat K.H shahib al-Wafa Taj al-Arifin, “Silsilah Tarekat Qadiriayah Naqsabandiyah” dalam Uqudul Jumaan, Yayasan Serba Bakti, suryalaya, 1976, hlm. 30-34
                10 Syekh Bahaudin Syah Naqsabandiyah, pendiri terakat Naqsabandiyah, seorang pemuka tasawuf terkenal, dilahirkan pada tahun 717 H, di sebuah desa bernama Qasr al-Arifan, kurang lebih 4 mil dari Bukhara, bekas wilayah jajahan Uni Sovyet Rusia, tempat lahir Imam Bukhari.  
                11 Q.s al-Baqarah 165.
                12 A. Wahib Mu’thi, Tasawuf, op.cit, hlm. 98
                13 Q.s Ali Imran : [3] : 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar