MU’JIZAT KARAMAT DAN MA’UNAT
( Persepsi Supranatural Dan Evolusi Spiritual manusia )
Pendahuluan
Menurut para
filosof muslim, tidak saja penalaran rasional dan pengalaman mistik sebagai
sumber ilmu, tetapi juga kenabian atau wahyu.1
Dalam kaitan ini Mulla Shadra di dalam kitabnya al-Asfar al-arba’ah menyebut
ketiga sumber tersebut sebagai burhan (demonstrative proof), Irfan (gnosis,
atau ma’rifah), dan Qur’an (wahyu/kenabian).2
Tentu saja kenabian ini terkait erat dengan pengalaman mistik, tetapi dalam
bentuknya yang paling sempurna. Perbandingan antara pengalaman mistik (walayah)
dan kenabian (nubuwah) barangkali dapat disimpulkan dari ungkapan
Farid al-Din Aththar dalam kitabnya Tadkirat al-Auliya, yang mengatakan bahwa setinggi-tingginya pengalaman mistik atau
kewalian (wilayah) itu baru awal dari kenabian (nubuwah).3 Ini menunjukan adanya keterkaitan dan
kesinambungan antara pengalaman mistik dan kenabian, dengan catatan bahwa
kenabian merupakan bentuk yang paling sempurna dari pengalaman mistik, atau
bahkan jenis lain darinya. Itulah sebabnya, sementara Nabi sangat mungkin
mengalami pengalaman mistik, seorang mistikus tidak akan pernah atau mungkin
mengalami kenabian sebab kalau itu terjadi, ia sudah bukan mistikus lagi,
melainkan nabi.
Pengalaman mistik (wilayah)
dan kenabian (nubuwah) adalah merupakan pengetahuan yang tidak
rasional; dalam pengertian umum. Sedangkan mistik apabila dikaitkan dengan
agama ialah pengetahuan ( ajaran atau keyakinan ) tentang tuhan yang diperoleh
melalui meditasi dan latihan spiritual, bebas dari ketergantungan kepada indera
dan rasio.4 Pengetahuan mistik adalah pengetahuan
yang tidak dapat difahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi
tidak dapat difahami rasio. Pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti
empiris tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.5
Dalam Islam, yang
temasuk pengetahuan mistik ialah pengetahuan yang diperoleh melalui jalan
tasawuf. Pengetahuan yang diperoleh misalnya tercakup dalam istilah ma’rifah,
al-Ittihad, atau Hulul. Pengetahuan mukasyafah juga adalah
pengetahuan mistik dalam tasawuf yang diperoleh memang bukan melalui jalan
indera dan rasio. Pengetahuan ini diperoleh melalui olah rasa, melalui hati
sebagai alat merasa. Apabila indera dan rasio adalah alat mengetahui yang
dimiliki manusia, maka rasa atau hati juga merupakan alat untuk mengetahui.
Manusia laksana radio penerima siaran empiris ia terima dan pahami dengan
menggunakan alat indera; siaran yang tidak empiris tetapi raional, ia terima
dan pahami dengan menggunakan akal rasional yang bekerja sesuai dengan hukum-hukum
dan aturan logis. Adapun siaran-siaran yang memiliki sinyal yang rendah
frekwensinya, sehingga bukan indera saja yang tidak mampu menangkapnya, akal
raionalpun tidak mampu menangkapnya. Untuk menangkap pancaran gelombang hidayah
yang frekwensinya tersebut, maka diperlukan radar yang lebih peka terhadap
gelombang tersebut, adapun radar ini dinamakan dengan hati (kalbu).6
Selanjutya dalam
tradisi ilmu Islam, secara garis besar dikenal dua macam ilmu yaitu : ilmu
muktasab dan ilmu laduni. Yang pertama diperoleh lewat proses pembelajaran
(membaca atau berguru) sedang yang kedua tidak melalui proses tersebut. Ilmu jenis
yang kedua ini adalah anugerah atau pemberian dari Allah yang masuk ke dalam
(diperoleh) hati karena telah terbukannya pintu ma’rifah sebagai buah
dari kebersihan hati dan kedekatan dengan-Nya. Eksistensi ilmu jenis kedua ini
memang diakui keberadaannya. Quraish Shihab dalam menafsirkan firman Allah surat al-‘Alaq ayat
keempat dan kelima dengan jelas mengatakan :
“ Dari uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa ayat
keempat dan kelima surat
al-Alaq menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah SWT dalam mengajar manusia.
Pertama melalui “pena” (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua
melalui pengajaran secara langsung, tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal
dengan istilah Ilmu laduny7
Dari uraian di atas jelas bahwa indera dan akal memang
merupakan sumber dan alat yang kompeten untuk memahami apa yang disebut sebagai
pengalaman fenomenal, namun indera dan akal tersebut tidak dapat menjangkau dan
menguraikan apa yang disebut dengan pengalaman eksistensial. Artinya ketika
akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos kealam
ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa religius), sehingga mampu memahami
pengalaman-pengalaman non inderawi atau
apa yang sering disebut dengan (extra sensory perception), termasuk
pengalaman-pengalaman mistik atau religius. Ia bahkan bisa berkomunikasi
melalui “bahasa hati” dengan makhluk-makhluk gaib, seperti, malaikat, jin, atau
bahkan Tuhan sendiri seperti yang dialami oleh para nabi. Ibarat radar, hati
manusia terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan begitu terang,
betapapun redupnya sinyal itu dari sudut pandang akal.
Namun dalam pemikiran modern, peran hati sebagai saluran
pengetahuan kurang mendapatkan penghargaan yang semestinya. Masyarakat modern membatasi
objek pengetahuan hanya pada objek-objek inderawi yang bersifat empiris, kemudian
dengan cara berpikir positivis manusia modern hanya mengakui keabsahan
pengetahuan inderawi tersebut yang dimanifestasikan dalam wujud sains dan
teknologi yang berkembang dengan sangat luar biasa dan spektakuler.8 Dengan perkembangan sains dan
teknologi, memang manusia modern dapat mengirimkan pesawatnya untuk menjelajah
angkasa. Manusia sudah dapat mendarat di bulan
dengan tubuhnya yang berasal dari bumi, dan bukan hanya dengan rohnya saja.
Dengan sains dan teknologi manusia dapat mengintai alam semesta dengan
strukturnya, yang jauhnya berjuta-juta tahun cahaya dari bumi kita. Dengan
sains dan teknologi pula manusia mampu
menyelami dasar lautan dan mempelajari apa yang terdapat di dalamnya, juga
manusiapun telah mampu mempelajari dirinya sendiri dan bahkan mengubah DNA sehingga
dikhayalkan akan menciptakan jenis manusia baru di masa yang akan datang. Sains
yang berpangkal kepada ilmu-ilmu pokok
Fisika, kimia, biologi, matematika, astronomi (yang dapat kita sebut
dengan ilmu alam benda), ekonomi, sosiologi, antropologi (yang dapat kita sebut
sebagai ilmu tingkah laku atau behavioral sciences) dan sebagainya telah
berkembang dengan cepat dan bercabang-cabang sehingga merupakan ilmu yang
sangat spseialis. Demikian dengan majunya ilmu hingga manusia seolah-olah
memujanya, dan menganggapnya sebagai Tuhan, dan menggunakannya untuk menilai
salah dan benar, menjadikan pedoman kalau ada sesuatu yang tidak dapat
diterangkan oleh ilmu itu.
Akan tetapi walaupun demikian, tidak mudah kiranya untuk
menyangkal bahwa semenjak dahulu hingga sekarang, terjadi berbagai peristiwa
yang tidak dapat diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada. Dalam menyikapi kenyataan
ini di kalangan Ilmuwan terbagi menjadi dua kubu yaitu ; pertama, kelompok
ilmuwan yang menolak peristiwa ini dan mengatakan sebagai non-sense. Mereka
menutup diri sendiri karena peristiwa tersebut
tak dapat diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada. Sedangkan kelompok yag kedua
adalah mereka yang terbuka dan menerima peristiwa itu, meskipun tidak dapat
diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada. Mereka beranggapan mungkin ada sesuatu
yang salah dengan cara berpikir kita. Kelompok yang ketiga adalah mereka yang
menunggau saja bagaimana nanti dan bahkan berspekulasi dengan berbagai cara,
termasuk cara klenik, spiritualist, yang dalam istilah di Indonsesia dikenal
dengan istilah aliran kepercayaan.
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang mencoba
membongkar apa sebenarnya yang ada di belakang peristiwa yang tidak dapat
diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada itu. Salah seorang sarjana diantaranya
adalah Louis E Rhine istri salah seorang ahli biologi yang kemudian menjadi
ahli parapsikologi Dr. JB Rhine almarhum.
Dalam bukunya yang berjudul Hidden Chanels of Mind, dia mengumpulkan
berbagai kasus peristiwa yang tidak dapat diterangkan dengan ilmu-ilmu yang ada
pada waktu itu.9 Begitupun dengan William
James juga meyinggung berbagai peristiwa dan dibukukan dan dibukukan dalam buku
yang berjudul “Varieties of Religious Experience”.
Di kalangan para penulis parapsychology peristiwa-peristiwa
yang tidak dapat diterangkan oleh ilmu-ilmu yang ada itu disebut peristiwa paranormal.
Para yang dalam bahasa Yunani berarti di
seberang atau beyond, jadi paranormal berarti di seberang hal-hal yang
normal. Istilah ini mulai dipakai di Ingris pada tahun 1830.10 Kemudian tersebar luas dan dipakai
dalam berbagai bidang ilmu dan kegiatan. Jadi tidak benar kalau ada anggapan
bahwa istilah tersebut diciptaka oleh sekelompokj orang Indonesia . Dalam bahasa Arab ada
istilah yang hamper sama, yaitu hawariq al-adat (di luar adapt
kebiasaan).
Dalam lingkup tawawuf peristiwa paranormal (hawariq
al-adat) ini di bagi ke dalam beberapa tingkatan yaitu;11
1.
Mu’jizat, peristiwa atau kemampuan luar biasa yang dialami oleh para nabi
dan rasul.
2.
Irhash,
peristiwa luar biasa (paranormal) yang dialami calon
nabi
3.
Karamat, peristiwa luar biasa (paranormal) yang dialami para wali
4.
Ma’unat, luar biasa (paranormal) yang dialami orang biasa, buka nabi bukan
pula wali
5.
Istidraj, peristiwa luar biasa (paranormal) bagi orang munafik,
sekurang-kurangnya orangyang dianggap demikian
Demikianlah sedikit ulasan mengenai pengalaman luar
biasa yang banyak terjadi pada orang-orang tertentu yang telah berhasil
mengolah indera bati mereka sehingga mampu sampai pada tahap ma’rifat dan
bersatu dengan dzat yang maha mutlak. Sehingga dengan kedekatan tersebut,
seolah-oleh tidak ada lagi pembatas antara aku dengan engkau. Tidak ada lagi
jurang yang memisahkan seseorang dari
objek yang ditelitinya karena ia telah bersatu- telah hadir pada dirinya.
Bahkan kalau perasaan cinta telah begitu besar, seorang pecinta tidak lagi bisa
dipisahkan dari kekasihnya, dan dua jiwapun kini tidak dapat dipisahkan lagi karena
mereka telah bersatu. Lalu, terkenallah uangkapan “dua jantung satu debaran”.
Dari sinilah kita dapat mengerti mengapa banyak para sufi yang telah merasa
bersatu dengan kekasihnya, yaitu Tuhan, sehingga nama al-Hallaj-pun
hilang, dan yang tersisa hanyalah Tuhan, Sang Kebenaran (al-Haqq).12
Fenomena Mukjizat Dalam Pandangan Islam
Kata mukjizat dalam
kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “kejadian ajaib yang
sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.” Pengertian ini berbeda dengan
pengertian kata tersebut dalam istilah agama Islam.
Kata mukjizat
terambil dari kata bahasa Arab أَعجز (a,jaza) yang berarti “melemahkan atau
menjadikan tidak mampu”. Pelakunya yang melemahkan dinamai mu’jiz dan bila
kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam
lawan, maka ia dinamai مـعجـزة (mu’jizat).13 Dalam pandangan pakar
agama Islam, mukjizat disefinisikan antara lain sebagai suatu hal atau
peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang menaku nabi, sebagai
bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada orang-orang yang ragu, untuk
melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani
tantangan itu.14 Dengan redaksi yang
berbeda, mukjizat didefinisikan juga sebagai sesuatu yang luar biasa
yang diperlihatkan Allah melalui nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas
kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.15
Sedangkan Manna al-Qhatan mendefinisikan sebagai berikut :
أَمْـرٌ
خـَارِقٌ لِلْعـَادَةِ مَقْـرُوْنٌ بِاِلتَّحَدِّي سَالِمٌ عَنِ اْلمُـعَارَضَةِ
Artinya
: “Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsure
tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.16
Apabila
kita perhatikan definisi-definisidi atas, maka akan terlihat adanya beberapa unsur
yang berkaitan dengan mukjizat. Unsur-unsur tersebut adalah :
1. Hal
atau peristiwa yang luar biasa
2.
Terjadi atau dipaparkan oleh seorang nabi
3.
Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian
4.
Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Untuk
membuktikan kegagalan mereka yang ditantangnya, biasanya aspek kemukjizatan
masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan dengan bidang keahlian umatnya.
Perhatikan misalnya mukjizat nabi Musa a.s yakni beralihnya tongkat menjadi
ular yang dihadapkan kepada masyarakat yang amat mengandalkan sihir. Mukjizar
yangbegitu jelas ini telah benar-benar membungkam para ahli sihir yang
ditantang oleh nabi Musa a.s, sehingga mereka tak kuasa kecuali mengakui
kekalahan mereka, ealaupun Fir’aun megancam dengan aneka macam ancaman.17
Perhatikan
juga nabi Shaleh a.s yang menghadapi kaum Tsamud yang amat gandrung melukis dan
memahat, sampai relief-relief indah “bagaikan sesuatu yang hidup” menghiasi
gunung-gunung tempat tinggal mereka.18
Kepada mereka disodorkan mukjijat yang sesuai dengan kehalian itu, yakni keluar
seekor unta yang benar-benar hidup dari batu karang yang kemudian mereka lihat
makan dan minum.19 Dan bahkan merekapun
meminum susu unta tersebut. Ketika itu relief-relief yang telah mereka lukis
tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan unta yang menajdi mukjizat itu.
Sayang karena pembangkangan dan keras kepala dan kesal samapai mereka tidak
mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhanpun menjatuhkan
siksa kepada mereka.
Demikian
juga halnya dengan nabi Isa a.s yang umatnya merasa mahir dalam bidang
pengobata, tetapi kemahiran itu tidak ada artinya sama sekali dibandingkan
dengan mukjizat nabi Isa a.s. Mukjizat tersebut adalah mengembalikan
penglihatan orang yang buta sejak lahir, meyembuhkan peyakit sopak, dan bahkan
menghidupkan orang mati. Kesemua mukjizat tersebut terjadi atas izin Allah SWT.20
Sunnatullah
atau kebiasaan Allah yang diberlakukan
oleh-Nya kepada para nabi terdahulu, juga diberlakukan kepada Nabi Muhammad
saw. Dalam hal mukjizat misalnya, Nabi Muhammad saw pun dianugerahi mukjizat
sebagai upaya membuktikan kebenaran kenabiannya. Namun mukjizat Nabi Muhammad
saw berbeda dengan mukjizat yang telah diturunkan kepada Nabi-Nabi terdahulu.
Mukjizat Nab-Nabi terdahulu kesemuanya merupakan mukjizat yang bersifat
material, inderawi lagi tidak kekal, dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat
disaksikan atau dijangkau langsung lewat indera oleh masyarakat tempat Nabi
tersebut menyampaikan risalahnya.
Perahu
Nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi
ombak dan gelombang yang demikian dasyat; tidak terbakarnya Nabi Ibrahim dalam
kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa a.s yang beralih wujud menjadi
ular; peyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s atas izin Allah da lain-lain.
Kesemuanya bersifat material inderawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat
nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masig Nabi. Ini
berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad saw yang sifatnya bukan inderawi atau
material, namun dapat dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, maka
ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Qur’an
dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akal di manapun dan
kapanpun.
Perbedaan
ini
disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama para Nabi sebelum Nabi Muhammad
saw ditugaskan untuk masyarakat tertentu, karena itu mukjizat mereka hanya berlaku
untuk masyarakat dan masa tertentu. Ini berbeda dengan Nabi saw yang diutus
untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran
ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu di mana
atau kapanpun berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak
mungkin bersifat material, karena kematerialan membatasi ruang dan waktu.
Kedua,
Manusia
megalami perkembangan dalam pemikirannya. Augus Comte (1798-1857) berpendapat
bahwa pemikiran manusia dalam perkembangannya melewati tiga fase perkembangan
yang masing-masing adalah : fase mistis (keagamaan), fase ontologis
(metafisika) dan fase positif (ilmiah). Dalam fase ilmiah manusia
menafsirkan fenomena yang ada tidak berdasarkan pada kekuatan Tuhan atau para
dewa, juga tidak pada prinsip-psinsip sumber asal seperti pada pada fase
metafisika. Tetapi manusia menafsirkan fenomena yang ada berdasarkan pengamatan
yang teliti dan berbagai eksperimen hingga diperoleh hukum alam yang mengatur
fenomena itu.
Umat
para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw amat membutuhkan bukti kebenaran, yang
harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Maka bukti-bukti tersebut harus
demikian jelas dan langsung dapat terjangkau oleh indera mereka. Tetapi setelah
manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan dalam berpikir, maka bukti yang
bersifat inderawi tidak dibutuhkan lagi. Itu sebabnya Nabi Muhammad ketika
diminta bukti-bukti yang yang sifatnya demikian oleh mereka yang tiak percaya
pada kenabian beliau, diperintah oleh Allah untuk menjawab :
سُبْحَانَ
رَبِّيْ هَلْ كُنْتُ إِلاَّ بَشَرًا رَسُوْلاً
“Maha suci Tuhanku, bukankah aku
hanya sekedar manusia yang diutus. (Q.s al-Isra [17] : 93
Jika
demikian maka membuktikan kebenaran suatu ajaran dengan mengunakan bukti-bukti
yang bersifat suprarasional dan inderawi, tidak membantu mereka yang telah
memiliki kemampuan raional. Menjadi sangat wajar jika sejak turunnya al-Qur’an
Allah SWT. Tidak lagi memaparkan bukti-bukti kebenaran Nabi (Muhammad) dalam
bentuk inderawi. Namun perlu dicatat bahwa ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal yang luar biasa
dari atau melaui Nabi Muhamad saw. Keeeluar air dari celah-celah jari beliau,
makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, dan lain-lain merupakan hal
luar biasa yang telah terjadi. Al-Qur’an bahkan menginformasikan beberapa hal
yang bersifat suprarasional yang terjadi atau dialami melalui Nabi Muhammad
saw, seperti misalnya genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik
dalam perang Badr, sehingga menutupi penglihatan mereka. Lemparan tersebut
dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut :
وَمَا رَمَيْتَ اِذْ
رَمَيْتَ وَلَكِن اللهَ رَمَى
Bukan
enkau yang melempar ketika melimpar, tetapi Allahlah yang melempar.
Perlu dicatat
bahwa semua itu bukan mukjizar yang dipaparka untuk menentang yang ragu, tetapi
itu merupakan anugerah Allah SWT. kepada Nabi-Nya sekaligus rahmat dan bantuan
kepada umat Islam.
Mengenai mukjizat Nabi Muhammad saw.
dalam buku yang berjudul “Mu’jizat al-Nabiy, yang ditulis oleh Muhammad
Hamzah al-Sya’dawi menyatakan bahwa terdapat 35 mukjizat Nabi Muhammad.21 Sayangnya buku ini tidak menyebutkan
sumber asli mukjizat tersebut. Jumlah mukjizat Nabi Muhammad sebetulnya lebih
dari 35. Namun barangkali sampai hari ini manusia hanya baru mampu menghitung
jumlah mukjizat itu sampai 35 saja. Selanjutnya marilah kita berbicara mengenai
peristiwa-peristiwa luar biasa (khawaiq aladat) yang terjadi pada masa
Nabi sebagaimana telah dilukiskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Dalam pandangan J.B Rhine peristiwa paranormal
(khawaiq al-adat) terjadi karena manusia mempunyai atau barangkali
dapat disebut berisi sesuatu yang sifatnya non materil, yang disebut psi, sebuah
huruf Yunani. Dia menghindarkan diri sejauh mungkin dari istilah agama yang
bernama ruh, nyawa atau soul, meskipun yang dimaksud mungkin sama. Psike ini
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan gejala atau peristiwa yang disebut paranormal.
Bidang ilmu yang membicarakan masalah ini adalah parapsychology.22 Peristiwa paranormal ini
dikelompokan menjadi dua bidang pokok yaitu ; exstrasensory perception (ESP)
dan psychokinesis (PK). Extrasensory perception terdiri
dari tiga tipe ; telephaty, clairvoyance, dan pre-cognition.
Telephaty adalah transper
pikiran dari satu orang ke orang lain tanpa perantara indera (panca indera),23 atau ada juga yang mendefinisikan
dengan sistem komunikasi antar pikiran. Dengan kalimat popular yang mudah
dipahami adalah kemampuan untuk membaca pikiran orang lain tanpa perantara
indera. Sedangkan Clairvoyance adalah persepsi atau pemahaman mengenai
sesuatu objek atau peristiwa objektif juga tanpa perantara indera.24 Dengan bahasa yang lebih mudah clairvoyance
adalah kemampuan untuk melihat benda yang tersembunyi atau terhalang oleh
sesuatu benda padat yang tidak tembus pandang, atau suatu benda yang terletak
di suatu tempat yag jauh. Sedangkan yang terakhir adalah precognition,
adalah pemahaman mengenai peristiwa yang akan dating juga tanpa perantara
indera. Dengan kata lain adalah mengetahui peristiwa yang akan dating, yang
dalam bahasa jawa dikenal dengan istilah weruh sadurung winarah. Untuk
peristiwa yang lampau sebagai kelanjutannya adalah retrocognition,
memahami atau mengetahui peristiwa lampau. Ketiga bentuk pengalaman patanormal
tersebut tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Bidang pokok kedua, psychokinesis,
adalah pengaruh perseorangan yang menghasilkan efek fisik, operasi mental
secara langsung atas suatu benda atau sistem energi fisik; dapat disebut juga
dengan istilah mind over matter, atau extrasensory motor.
Selanjutnya kita coba telusuru beberapa mukjizat Nabi dengan klasifikasi dan pendekatan
seperti di atas.
Yang lebih mengherankan lagi adalah
ketika Nabi menerangkan tentang kiamat. Pada saat itu juga diperlihatkan Allah
kepadanya surga dan neraka seolah-olah ada di dinding dihadapannya. Surga dan
neraka rasanya belum mungkin diperlihatkan kepada orang biasa. Pengertian kita
tentang surga dan nerakapun juga tidak banyak, apakah itu merupaka konsep
geografis atau perkembangan ruh manusia. Artinya apakah surga itu terdapat di
suatu tempat di alam semesta ini ataukah masih ada di sekitar dan merupakan
fungsi dari perkembangan keruhanian kita ; kalau ruh kita sudah berkembang,
kita ditempatkan di surga dan demikian pula sebaliknya.
Telephathy merupakan
peristiwa yangsering dialami Rasulullah. Hanya saja keterangan dalam hadits
tidak begitu jelas dan terperinci. Namun kita dapat bertanya mengapa kalau ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi jawabannya demikian, seolah-olah
disesuaikan dengan keperluan orang tersebut. Demikian juga ada kesan pertanyaan
yang sama namun jawabannya berlainan. Bukankah ini karena Nabi memahami apa
yang terjadi dalam pikiran orang itu.
Dalam Kitab Shahih Bukhari juz I ada
sebuah hadits yang menerangkan bahwa suatu waktu Nabi shalat bersama para
sahabat termasuk Abu Hurairah. Nabi menghadap ke kiblat, tetapi dia tahu apa
dan siapa yang terjadi di belakangnya. Adapun hadits tersebut berbunyi :
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّ الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِى ههُنَا
فَوَ
اللهِ ما يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوْعَكُمْ وَلاَ رُكُوْعَكُم إِنِّى لاََرَاكُمْ مِنْ
وَرَاءِ ظَهْرِ. (رواه
البخاري)
“Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw
bersabda : Adakah anda lihat mukaku menghadapa ke kiblat ? Demi Allah, bukan
tidak tampak bagiku khusyu dan ruku kalian. Sesungguhnya aku dapat melihat
kalian walaupun kalian berada di belakangku.
Dengan demikian Nabi mengetahui apa yang dilakukan oleh
jamaahnya yang berdiri di belakangnya meskipun diasendiri menghadap ke Kiblat.
Bukankah ini merupakan suatu transfer of thought dari orang ke orang.
Nabi dalam bahasa ingris diterjemahkan dengan prophet,
yang salah satu artinya adalah prophecist (juru ramal), propechy adalah
ramalannya. Nabi memang bukan juru ramal, tetapi dia diberi oleh Allah
keistimewaan mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan dating, tidak
semua peristiwa, tetapi hanya beberapa peristiwa saja. Karena seorang Nabi merupakan pengasuh ummat, maka yang
diketahuinya adalah apa-apa yang berkaitan dengan umatnya. Biasanya peristiwa
yang akan datang itu diberitahukan dalam bentuk mimpi. Kemampuan mengatahui
yang akan datang itu disebut dengan precognition, yang dalam bahasa
Indonesia tidak terdapat istilah khusus untuk menterjemahkan kata tersebut,
namun istilah weruh sadurung winarah dalam bahasa jawa atau sunda dianggap
memadai untuk menterjemahkan istilah precognition di atas. Nabi
Muhammadpun mengalami pengalamanan precognition tersebut melalui sebuah
mimpi seperti diilustrasikan dalam sebuah hadits.26
Mimpi Nabi itu melukiskan apa yang akan terjadi atas
manusia yang berbohong, tidak mau mengamalkan perintah Tuhan sebagaimana tercantum
di dalam al-Qur’an, berzina, makan riba, Nabi Ibrahim, rumah buat kaum muslimn
dan para syuhada, ribuan bahkan puluhan ribu tahun yang akan dating, atau
bahkan tidak berdimensi waktu sekalipun. Mimpi yang dialami oleh Nabi tersebut
adalah merupakan symbol, di mana orang-orang yang terdapat dalam mimpi tersebut
bukanlah orang tertentu si A atau si B, melainkan dalam arti umum, siapa saja.
Sedangkan kalimat yang terakhir yang diucapkan oleh Nabi dalam mimpi “angkatlah
kepala Tuan, kataku “biarlah aku ke sana ”. Jawabnya : “Sekarang masih ada sisa
usia Tuan, nanti kalau sudah cukup masanya, tuan akan pergi ke tempat Tuan itu.”
Perkataan tersebut mirip dengan perkataan orang-orang yang telah
mengalami peristiwa life after death dalam istilah Parapsycholog. Raymond
Moody Jr misalnya dalam bukunya yang berjudul life after death dia telah
telah megumpulka beberapa kasus orang yang kta sebut secara klinis sudah
meninggal, atau mati suri, tetapi kemudian hidup kembali.27 Waktu yang terlewat selama meninggal
itu biasanya berkisar antara 10-15 menit. Umumnya dalam rentang waktu tersebut,
seseorang yang meninggal, sel-sel otaknya akan kekuarangan oksigen sehingga
tidak mungkin dapat dipakai lagi, dan tidak mungkin hidup kembali, namun pada
kenyataannya ada bahkan banyak pengecualian. Ketika Moody Jr menanyai
orang-orang tersebut, maka jawabannya sama atau hamper sama, sehingga oleh
karenanya fenomena tersebut dapat dijadikan model. Di mana model tersebut
adalah ; begitu seseorang meninggal, ia merasa melalui sebuah terowongan gelap,
di ujung terowongan itu ia keluar dan menemukan dirinya berada di luar badannya,
dan ia mampu melihat badannya sendiri berbaring atau terlentang di tempat
kecelakaan.
Selanjutnya ia melihat badannya sendiri dirubung-rubung
orang banyak. Kemudia dia bertemu dengan seseorang atau sesuatu yang disebut
makhluk cahaya the being of light. Makhluk cahaya itu begitu ramahnya
sehingga tiap orang akan senang bertemu dengan dia. Dia memperlihatkan riwayat
hidup orang yang mati suri itu seperti kita melihat sebuah film, dan menunjukan
tempat yang akan ditempatinya kemudian. Ketika orang yag mati suri itu akan
memasuki tempat makhluk itu makhluk cahaya itu tidak mengijinkan dengan
mengatakan; “belum waktunya karena masih ada sisi umur yang belum habis” dan
dia disuruh kembali ke badannya, sehingga orang yang mati suri itu hidup
kembali.
Karamat Fenomena supranatural Kewalian
Karamat secara bahasa secara bahasa artinya adalah nama untuk
memuliakan dan mengagungkan.28 Bila
orang Arab berkata, “ ia mempunyai karamat,” maka artinya ia mempunyai
keagungan. Sedangkan menurut istilah,
karamat mempunyai beberapa makna yaiut :
- Sesuatu yang luar biasa yang Allah tampakan melalui tangan seseorang hamba yang saleh.
- Sesuatu yang luar biasa yang Allah tampakan melalui tangan seorang hamba yang saleh, dan dia bukan seorang nabi di masa sekarang dan masa yang akan datang.29 Serta tidak diiringi dengan dakwaan sebagai wali dan tidak pula sebagai pendahuluan untuk itu.
- Sesuatu yang luar biasa yang Allah tampakan melalui tangan seorang hamba yang saleh yang selalu mengikuti syariat nabi SAW, diiringi dengan aqidah yang benar dan amal shaleh, baik ia mengetahi adanya karamat atau tidak mengetahuinya.
Definisi terakhir ini menambahkan suatu syarat pentig
yag mesti diketahui oleh orang-orang yang mengaku sebagai sufi, yaitu bahwa al-shalah
(kebaikan) asasnya adalah memiliki komitmen terhadap Islam, baik secara
tekstual maupun spiritual mengikuti sunnah Nabi saw, dan bukan sebagai pembuat
bid’ah. Oleh karena itu tasawuf dari golongan ahli bid’ah tidak diterima,
karena mereka tidak berpegang kepada sunnah Rasulullah saw. Sebab mengiktui
sunnah Rasulullah adalah perintah yang isyariatkan, dan syariat merupaka
ketentuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, di mana risalah Islam terdiri atas
dasar al-Qur’an dan al-Sunnah.Keduanya saling menguatkan dan penjelas bagi yang
lain.30
Dengan demikian karamat adalah merupakan perkara yang
luara biasa (khawaiq al-adat) yang muncul pada diri seseorang yang
beriman dan beramal saleh serta tidak meyertai pengakuan sebagai seorang Nabi.
Jika tidak disertai dengan amal saleh maka itu dinamakan istidraj, sedang apabila disertai
dengan pengakuan sebagai seorang Nabi maka fenomena tersebut dinamakan dengan mukjizat.
Karamat bukan merupakan syarat dari kewalian. Apabila munculkaramat pada diri
seorang wali, itu hanya sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya dan kedudukan
luhurnya, namun ia tetap berpijak kepada petunjuk syariat yang diajarkan Oleh
Nabi saw. Jika tidak demikian, karamat hanyalah merupakan hinaan setan.
Diantara orang-orang yang shaleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan
orang lain tahu. Ada
pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya dan orang lainpun tidak tahu,
bahkanada pula yang orang lain tahu, tetapi dia sendiri tidak mengetahuinya.
Tetapi bagaimanakan kita dapat mengetahui bahwa seseorang itu wali atau bukan.
Sebab kita tidak dapat mengetahui bahwa orang lain itu adalah wali. Orang
kebanyakan mengetahui wali dari orang lain, atau dari peristiwa atau kemampuan
yang kadang-kadang terlihat, atau dari peruatannya sehari-hari, ketaatan
menjalankan ibadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya.
Peristiwa paranormal atau khawaiq al-adat yang
terjadi atas para wali ini agak sukar dideteksi. Pertama, karena mereka
sendiri, sesuai dengan ajaran agama, selalu menyembunyika peristiwa itu. Kedua,
karena biasanya yang mengabarkan adanya kemampuan paranormal para wali itu
adalah murid-muridnya, lama sesudah para wali itu sendiri meninggal. Tulisan
murid para wali itu sering controversial, di stu pihak oleh orang yang tidak
menyetujinya dianggap tidak masuk akal, di lain pihak oleh pengikut wali itu
sendiri dipuja-puja sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Lihat saja
contohnya manaqib syekh-syekh seperti Syeikh Abd al Qadir al-Jailany, Syeikh
Naqsabandy, Sukhrawardi dan lain-lain. Adalah ironis kalau kisah dan ceritera
para wali itu dianggap sebagai sesuatu yang controversial, sedangkan ceritera
yang sama mengenai orang biasa justru tidak.31
Lihat saja kasus peristiwa paranormal yang dialami oleh orang biasa yang
dikumpulkan oleh Louisa E. Rhine misalnya. Memang benar peristiwa paranormal
wali-wali itu nampaknya tidak masuk akal, tetapi itu hanya bagi merekayang
belum mempelajari parapsychology. Bagi mereka yang sudah mempelajari bahkan
telah melakukan riset dan eksperimen-eksperimen tentang peristiwa itu sama
sekali bukan sesuatu yang tidak masuk akal. Sekedar ceritera mengenai listrik,
telepon dan alat elektronik lainnya jelas tidak masuk akal bagi orang-orang
yang sama sekali belum pernah melihatnya, tetapi bagi orang yang telah
menikmatinya sama sekali tidak.32
Beberapa kemampuan, peristiwa paranormal seperti clairvoyance,
telephaty, precognition dan psychokinesi terjadi juga atas para
wali, bahkan nampak bukan sebagai hal yang luar biasa. Salah satu sumber
riwayat peritiwa paranormal itu adalah terdapat dalab buku tadkirat
al-awliya sebagai buah karya dari seorang sufi yang bernama Farid al-Din
Athar. Namun sayang penulisan pada zamannya, tradisi untuk menyebutkan sumber
seperti kita menuliskannya dalam footnotes ata endnotes tidaklah
biasa, akhirya terserah kepada kita untuk mempercayainya ataupun tidak. Namun
yang penting di sini bagi kita ialah bagaimana kita meyikapi
peristiwa-peristiwa tersebut dalam proporsi yang tepat dan kita coba bandingkan
dengan pengalaman-pengalaman luar biasa yang banyak diteliti oleh ahli-ahli parapsychology.
Berikut adalah salah satu contoh dari peristiwa paranormal yang dialami
oleh seorang sufi yang bernama al-Halaj misalnya sebagaimana diuraikan dalam
kitab Tadkirat al-Awliya tersebut.
Nama lengkap al-Hallaj adalah Husein Ibn Mansur
al-Hallaj yang lahir di Persia
pada tahun 858 M dan kemudian menetap di Baghdad .33 Ia adalah seorang sufi yang megajarkan
faham hulul, yakni faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh
manusiatertentu untuk mengabil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.34 Pendapat orang mengenai al-Hallaj ini
beragam sekali. Ada
yang menganggap bahwa dia bukan seorang muslim, namun banyak juga yang
menganggap bahwa dia sudah mencapai tingkat kesempurnaan sebagai manusia.
Pertanyaannya sering tidak dapat dipahami kebanyakan orang sehingga akhirnya ia
dihukum mati dengan cara yang keji. Penulis sengaja jadikan dia sebagai contoh bahwa
kalau jalan pikiran sesorang tidak dapat mengikuti jalan pikiran kebanyakan
orang, maka orang itu akan diperlakukan tidak wajar. Bukan hanya ahli agama saja tetapi juga ahli
ilmu pengetahuan dan ahli filsafat. Begitu pula dengan al-Hallaj, ia dihormati
dan penemuannya dianggap penting ketika tokoh yang satu ini sudah meninggal.
Sekarang, setelah ilmu bahasa, tasawuf, ilmu komunikasi dan lain-lain
berkembang,mulailah orang-orang mencari dan mentafsirkan apa yang dikatakannya.
Pernyataan “Ana al-Haqq” dikaji kembali. Pernyataan itu tidak
seperti arti bahasanya yang sepintas
lalu dapat diartikan sebagai pernyataan murtad dan lain-lain. Tetapi suatu
pernyataan dalam keadaan “altered states of consciousness” yang
berbeda dengan pernyataan dalam keadaan kita sehari-hari, akibatnya orang-orang
yang menentangnya banyak, tetapi yang mendukungnya juga banyak.
Al-Hallaj adalah seorang prototipe yang
sangat mencintai Tuhan. Karena peryataannya yang terkenal itu, dia mula-mula
dimasukan ke dalam penjara. Pada malam prtama dia dipenjara, penjaga penjara
mendatangi selnya tetapi mereka tidak dapat menemukannya di sana . Mereka mencarinya ke mana-mana di dalam
penjara itu, tetapi tetap tidak dapat menemukannya. Pada malam kedua para
penjaga tidak dapat menemukan dia dan penjaranya. Pada malam ketiga para
penjaga baru menemukan dia di dalam penjara, jadi dua-duanya yakni al-Hallaj
dan sel penjaranya dapat ditemukan. Kemudian penjaga itupun menginterogasi
al-Hallaj, “di manakah kamu pada malam pertama, dan dimanakah kamu dan penjara
pada malam kedua?” mereka bertanya. Sekarang kedua-duanya kamu dan penjara muncul
kembali, gejala apa ini?. Al-Hallaj menjawab. “Pada malam pertama saya ada di
kehadiran (Presence), karena itu saya tidak di sini. Pada malam kedua
kehadiran ada di sini, karena itu saya dan penjara tidak di sini. Pada malam
ketiga saya dikirimkan kembali, sehingga hokum dapat dipertahankan. Kemarilah
dan kerjakanlah tugasmu.
Ketika al-Hallaj dipenjara di dalamnya ada 300 penghuni
penjara. Malam itu dia berkata kepada mereka. “Wahai penghuni penjara, inginkah
kamu bebas?”. Mengapa anda tidak membebaskan diri anda sendiri? mereka menjawab.
Saya adalah tahanan Tuhan. Saya adalah penjaga keselamatan jawabnya. Kalau saya
menghendaki, dengan satu isyarat saya dapat melepaskan semua ikatan. Al-Hallaj
memberi isyarat dengan jarinya, dan semua ikatan putus. Sekarang ke mana kita
pergi ? Tanya penghuni penjara itu, pintu gerbang penjara dikunci, al-Hallaj
memberi isyarat lagi dinding penjara terpecah. Sekarang pergilah dia berteriak.
Apakah anda tidak pergi juga ? mereka berteriak. Tidak dia menjawab, saya punya
satu rahasia dengan Dia yang tidak dapat dikatakan kecuali di tiang gantungan.
Ke manakah orang-orang yang di penjara ini pergi ?, Tanya penjaga keesokan
harinya. Aku membebaskan mereka kata al-Hallaj. Kenapa kamu tidak pergi ?,
mereka bertanya. Tuhan punya alasan menyesali aku, karena itu aku tidak pergi
kata al-Hallaj.
Demikian salah satu kisah dari sekian banyak
ceritera luar biasa mengenai al-Hallaj.
Ceritera ini memberikan contoh lagi mengenai psychokinesis, atau mind
over matter. Sebenarnya masih banyak lagi ceritera mengenai al-Hallaj ini,
tetapi cukuplah kiranya kisah ini mejadi salah satu ilustrasi mengnai
gejala-gejala paranormal atau khawariq al-adat atau karamat yang
dimiliki oleh para wali.
Maunat Persepsi Supranatural Manusia Biasa
Maunat adalah peristiwa paranormal yang dialami oleh manusia
biasa, bukan nabi dan juga bukan wali. Batas antara wali dan manusia biasa itu
sebenarnya tidak jelas. Seorang manusia yang rajin beribadah, menjalankan semua
perintah Tuhan dan menjauhi semua larangann-Nya akan semakin dekat dengan
kedudukan wali. Sering kita dengar istilah setengah wali di kalangan
masyarakat, yang menunjukan tingginya pandangan masyarakat terhadap orang itu,
dan masyarakat melihat kerajinan ibadahnya, pebuatan baiknya kepada sesame yang
lain.
Peristiwa paranormal
di kalangan orang biasa tidak sering terjadi pada setiap orang tetapi jumlah
orangnya banyak, meliputi seluruh dunia, tidak hanya sekarang tetapi juga pada
zaman dahulu, bahkan mungkin zaman dahulu lebih banyak. Tidak hanya terbatas
pada satu kepercayaan atau keyakinan atau agama, tetapi semua. Seseorang tidak
banyak atau tidak sering mengalami peristiwa paranormal, hanya sekali atau
dua kali seumur hidup. Tetapi yang satu kali ini seringkali merubah pandangan
hidupnya sama sekali, misalnya ia tidak takut menghadapi maut, padahal ia
sehari-harinya adalah penakut, menjadi orang yang pengasih dan penyayang
padahal sehari-harinya ia adalah orang yang galak pelit dan lain-lain.
Peristiwa paranormal
ini telah bayak didokumentasi oleh ilmuwan, yang tentunya dengan
menggunakan pendekatan dan persyratan keilmuan yang ketat. Salah satu ilmuwan
yang mencurahkan perhatiannya pada peristiwa ini adalah Dr. Louise E. Rhine
dari sebuah lembaga yang terkenal yakni The Fondation for Research on nature
of man California
utara Amerika Serikat. Dia mengumpulkan sejumlah kasus dan dianalisis sesuai
dengan metode keilmuan. Yang hasilnya telah didokumentasikan dalam bukunya yang
masing-masing berjudul Hidden Chanels of Mind. Di mana di dalamnya di
muat hasil penelitian dan laporan mengenai peristiwa-peritiwa paranormal,
mulai dari peristiwa yang dikatagorikan dengan telephaty, clairvoyance,
precognition dan psychokinesis.35
Telephaty,
clairvoyance, dan precognition, atau yang disebut juga dengan extrasensory
perception adalah tiga kemampuan manusia yang diajukan oleh J.B Rhine.
Ditambah satu lagi sebagai imbangannya yaitu; psychokinesis atau disebut
juga extra sensory motor. Selanjutnya disamping tiga kemampuan yang
dikemukakan oleh Rhine tersebut masih ada lagi
kemampuan manusia yang statusnya masih controversial yakni Altered States
Consciousness ( kesadaran yang berubah). Yaitu pengalaman di mana dimensi
waktu tidak berlaku, atau setidaknya konsep waktu yang berbeda dengan alam yang
sekarang kita alami ini. Dalam literatur tasawuf dikenal adanya gradasi alam
wujud yang meliputi ; nasut, malakut, jabarut, dan lahut yang
memang tidak dikenal dalam lapangan sain yang bersifat positiv. Penulis
berkesimpulan bahwa seorang sufi atau wali yang ada dalam keadaan syathahat (seperti
mabuk bagi orang yang melihat, tetapi sebenarnya bukan), ada dalam alam
yangberbeda dengan ala mini, sehingga ukuran yang berlaku di ala mini tidak
berlaku di alam tersebut, karenanya kita tidak dapat menghukumi mereka dengan
hokum yang diberkalukan di dalam ala mini.
Kedua adalah
kemampuan apa yang disebut dengan istilah out of body experience, yang
sekali lagi terjemahan dalam bahasa Indonesianya tidak ada, tapi padanan
istilah yang dianggap pas untuk istilah tersebut adalah ngrogo sukmo dalam
bahasa Jawa dan pecat raga dalam bahasa Sunda. Out of Body experience
adalah suatu kemampuan untuk mengeluarkan sebagian dari tubuh manusia sehingga
kesadarannya ada di luar badannya dan mengalami berbagai peristiwa seperti
biasanya dengan badan utuh. Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa tubuh ini
terdiri dati beberapa lapis. Pada pengalaman ini lapisan tubuh yang paling luar
ditinggalkan, lapisan dalam yang lebih halus di bawa ke manapun. Pada waktu
kita meinggal lapisan yang paling luar inilah yang ditinggalkan paling dulu,
baru lapisan yang dalam hancur perlahan-lahan, tanpa harus kita kuburkan lagi
karena bersatu dengan alam sekitarnya. Banyak ceritera di masa lampau mengenai
orang-orang yang memiliki pengalaman seperti ini. Di mana seorang Kyai pada
hari jum’at sore dia seolah-olah tidur, akan tetapi menurut ceritera orang
sekampung bahwa ia baru sembahyang di Makkah. Ceritera ini tidak diceriterakan
kepada semua orang, namun hanya kepada orang-orang yang terpercaya saja. Dan
baru banyak diceriterakan setelah ia meninggal.
Ketiga adalah kemampuan manusia yang belum diteliti dan
belum diberi nama adalah kemampuan manusia untuk tidur atau koma, atau
barangkali pingsan atau apapun namanya selama beberapa bulan tanpa makan, minum
ataupun bergerak. Dalam dunia binatang kemampuan itu disebut denga hibernation.
Pada musim dingin di negara-negara subtopis ketika alam sekitar tidak dapat
mensuplai dan memberi bekal makanan karena cuaca sangat dingin,
binatang-binatang itu tidur selama tiga sampai empat bulan, tergantung pada
letak daerah tersebut terhadap garis khatulistiwa. Di akhir musim dingin,
ketika matahari mulai bersinar kembali, mereka mulai bangun kembali dan memulai
kegiatan hidup sehari-hari seperti biasa. Dalam al-Qur’an terkenal kisah Ashab-al-Kahfi
yang tidur menurut istilah kita selam ratusan tahun;
Keempat adalah kemampuan manusia sebagai imbangan dari precognition.
Kalau manusia ada yang mampu mengetahui peristiwa yang akan dating, dia juga
mungkin mengetahui peristiwa yang lampau,yang sudah terjadi ribuan tahun yang
lampau. Kemampuan ini disebut dengan retrocognition. Demikian apabila
ada manusia yang mampu mengetahui pikiran manusia lain, maka tidak mustahil
pula dia mengetahui pikiran (menurut istilah kita) binatang dan tumbuhan.
Inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi Sulaiman a.s yang belum dapat ditiru
atau dipelajari orang-orang zaman sekarang.
1 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar
Epistemologi Islam, Bandung ,
Mizan, 2003, hlm. 102
2 Lihat Syed Hosein Nasr, “Mulla Shadra : His teaching” dalam Nasr
&Oliver Leaman, History of Islamic Philoshopy, jilid I, hlm. 644
3 Farid al-Din Aththar, Muslim Saint and Mistics : Episod from The
Tadkirat al-Awlia’ (“memorial of The Saints” Terj A.J Arberry (London :
Routledge & Kegan Paul, 1966), hlm. 59
4 A.S Hornby, Oxford AdvancedA Learner’s Dictionary of Current
English, Oxford University Press, 1974, hlm. 559
5 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epsiotemologi
dan AksiologiPengetahuan. Bandung ,
PT. Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 112
6 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu,
hlm. 118
7 Quraisy Shihab, Tafsir
al-Qur’an al-Karim, Jakarta ,
Pustaka Hidayah, 1997, hlm. 101
8 Kebenaran ilmu dalam prespektif filsafat ilmu modern adalah
kebenaran yang berlaku pada metode-metode penyelidikan ilmiah yang merangkum
tiga pilar utama sebagai penopang kebenaran sains. Tiga pilar utama tersebut
adalah; logico, hepotetico, peripicatif. Artinya ilmu pengetahuan benar,
apabila memanuhi tiga kriteria tersebut.Objek pengetahuanpun haya dibatasi pada
objek objek inderawi yangbersifat empiris. Adapun pengalaman mistik, kenabian
dan pengalaman-pengalaman spiritual lainnya adalah sebagai pengalaman yang
tidak memiliki cognitive content (kandungan pengertian) dengan kata lain
sebagai sesuatu yang tidak ada dan tidak layak dibicarakan dalam terminologi
ilmu. Lihat misalnya ungkapan Sigmund Freud yang menyebutkan ide-ide agama
tentang Tuhan dan alam gaib sebagai ilusi karena konsep-konsep tersebut muncul
dari keinginan manusia (human whises) dan bukan dari realitas, Lihat
Erich Fromm, Psycoanalysis and Religion, (New Haven Yale University
Press, 1950), hlm. 12. Lihat pula Kees Bertens “Sigmund Freud dan Kritiknya
Atas Agama,” dalam Panorama Filsafat Modern, Jakarta , Gramedia, 1987, hlm. 107-109
9 Lihat misalnya. Ace Partadireja, Al-Qur’an Mukjizat, Karamat
Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual, Yogyakarta ,
Dana Bhakti Pimayasa, 1997, hlm. 2
10 Ace Partadireja, Ibid, hlm. 2
11 Majdi Muhammad al-Syahawi, Karamat, terj. Hasbiyallah
Husein, Jakarta ,
Sahara Publiser, 2005, hlm. 65
12 Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, Jakarta , Bulan Bintang,
1995, hlm. 90
13 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, Bandung , Mizan, 2004, hlm. 23
14 Ibid,
15 Said Agil Husein al-Munawar, I’jaz al-Qur’an dan Metodologi
Tafsir, Semarang ,
Dimas, 1994, hlm 1
16 Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulmu al-Qur’an, Manyurat al
Ashr al-Hadits, t.p 1973, hlm. 259
17 Lihat misalnya Q.s Thaha [20] : 63-76
18 Q.s al-A’raf [7] : 74 dan al-Fajr [89] : 9
19 Q.s al-A,raf [7] : 73 dan al-Syu’ara [26] : 155-156
20 Q.s Ali Imran [3] : 49
21 Muhammad Hamzah al-Sya’dawi, Mu’jizat al-Nabiy, Kairo,
Maktab al-Qur’an, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Oleh K.H Salim
Bahreisy, “Menyaksikan 35 Mu’jizat Rasulullah, Surabaya , Pustaka Progresif, 1991.
22 Ace Partadiredja, Op.cit, hlm. 46
23 A.S Horby, Oxford Advanced LearnerDictionary of Current English,
Oxford University Press, 1974, hlm. 888
24 A.S Horby, Op.cit, hlm. 150
25 Uraian lebih rinci mengenai hal ini baca Ahmad Musthafa al-Maraghi,
Tafsir Maraghi, Beirut, Libanon, Dar Ihya al-Turaots al-Arabiy, Juz 15,
tt hlm. 6
26 Untuk lebih jelas dan rinci mengenai uraian hadits yang
menceriterakan mimpi Nabi Muhammad yang berkaitan dengan kejadian masa dating
Lihat Al-Buchari, Shahih Bukhari, terj. H. Zainuddin Hamidy, dkk, juz II
Jakarta, Wijaya, 1984
27 Ace Partadiedja, Op.cit, hlm. 56
28 Majdi Muhammad al-Syahawi, Karamat, Op.cit, hlm. 89
29 Abdu al-Salam al-syukari, Hidayah al-Murid, hlm. 177
30 Q.s al-Jatsiyah : 18-19
31 Ace Partadiredja, Al-Qur’an Mukjizat, Karamat, Mau’nat, Opcit.
Hlm. 60
32 Lihat misalnya peristiwa ketika Raja faisal yang bijaksana dan
berpikiran maju memperkenalkan radio dan telefon kepada masyarakat negerinya.
Ia mendapat reaksi keras dari pemimpin agama dan ulama. Mereka tidak saja
menolak kehadiran alat komunikasi modern itu, tetapi malah memandangnya sebagai
barang tiruan setan. Sebab menurut mereka tidak mungkin benda mati bisa
memproduksi suara dengan sendirinya, kecuali ada ruh di dalamnya, maka asosiasi
mereka ialah kepada adanya setan dalam benda tersebut. Baru setelah
diperintahkan untuk meyiarkan pembacaan ayat suci al-Qur’an, mereka mulai
percaya apabila suara tersebut bukan suara setan. Karena mereka berpikir sebuah
benda yang bisa memprodusir suara-suara dari kitab suci adalah mustahil suara
setan. Sebab bukankah setan akan lari apabila mendengan ta’awwudz, sehingga
tidak mungkin menyiarkan wahyu Illahi. Lihat Nurchalis Madjid, Islam Doktrin
dan Peradaban, Jakarta ,
Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, hlm. 253
33 Harun Nasution, Falsafat &Mistisisme dalam Islam, Jakarta , Bulan Bintang,
1995, hlm. 87
34 Harun nasution, Loc.cit, hlm. 88
35 Ace Partadiredja, Op.cit, hlm. 84